KedaiPena.com – Antusiasme mengembangkan kendaraan listrik dinyatakan tak cukup untuk menjadikan kendaraan listrik sebagai solusi transportasi hijau. Jika infrastruktur dan pengembangan Energi Terbarukan (ET) tidak dipersiapkan dengan baik, pilihan transportasi publik jauh lebih masuk akal dibandingkan mengembangkan kendaraan listrik.
Pengamat Energi Terbarukan METI, Surya Dharma menyatakan dengan melihat kondisi Indonesia saat ini, pendapat yang menyatakan penggunaan transportasi publik jauh lebih tepat dibandingkan mendorong kendaraan listrik.
“Upaya prioritas penggunaan kendaraan publik termasuk bus listrik untuk kendaraan publik, itu masih jauh lebih masuk akal dibandingkan dengan percepatan pemanfaatan listrik pribadi, jika infrastruktur kendaraan listrik dan penggantian energi fosil dengan energi terbarukan tidak dipersiapkan dengan baik,” kata Surya, Minggu (6/11/2022).
Ia menjelaskan memang ada dua pendapat terkait kebijakan kendaraan listrik dapat menjadi transportasi ramah lingkungan.
“Yang berpendapat benar karena tentu saja kendaraan listrik, akan menggantikan kendaraan berbahan bakar minyak atau gas yang sumbernya adalah fosil yang sedikit banyak sangat mempengaruhi lingkungan karena emisi karbon yang banyak ke udara. BBM akan digantikan listrik yang lebih ramah pada lingkungan,” ucapnya.
Hanya saja pandangan itu, lanjutnya, bisa juga keliru karena listrik itu bisa juga menghasilkan emisi karbon yang tidak ramah terhadap lingkungan karena listriknya berasal dari batubara.
“Batubara adalah penghasil emisi karbon yang sangat besar dibandingkan dengan sumberdaya energi fosil lainnya. Karenanya, jika listriknya berasal dari batubara, tentu saja akan semakin menambah banyak emisi karbon yang dihasilkan ke udara dan tentu saja akan semakin memberikan dampak terhadap lingkungan yang semakin besar. Bahkan upaya kita untuk menurunkan emisi karbon sebagaimana target dalam NDC Indonesia akan semakin menantang. Bahkan mungkin bisa gagal,” ucapnya lagi.
Surya menyebutkan Presiden Joko Widodo sudah mencanangkan penurunan emisi karbon dengan mulai membatasi pembangunan PLTU baru dan mulai juga mempensiunkan PLTU lama secara bertahap.
“Upaya mempensiunkan PLTU ini akan berjalan secara alami yang disebut coal phasing down sampai tahun 2056 untuk bisa memenuhi ambisi Net Zero Emission pada tahun 2060. Tentu saja untuk menggantikan peran batubara itu, perlu dipersiapkan infrastruktur listrik pengganti dari energi terbarukan secara baik,” ungkapnya.
Ia juga menyebutkan bahwa pembangunan energi terbarukan membutuhkan waktu yang panjang dan lama. Karenanya perlu dipersiapkan sejak awal dengan baik
“Saya melihat upaya pemerintah dalam mendorong Energi Terbarukan ini belum optimum. Banyak yang mengatakan bahwa sangat sedikit keberpihakan pemerintah untuk mendorong percepatan pengembangan energi terbarukan. Bahkan yang terjadi sebaliknya,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa