KedaiPena.com – Penerapan Electronic Road Pricing atau Jalan Berbayar yang diajukan Pemprov DKI Jakarta, dinilai sebagai perwujudan kecenderungan pemerintah yang acap kali membuat kebijakan tanpa kajian komprehensif. Bahkan dinyatakan ERP ini hanya akan berujung sama dengan program ETLE,
Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie menyatakan ada beberapa alasan ERP belum bisa diterapkan di Indonesia atau dalam issue yang ramai beredar belakangan ini, Jakarta.
“ERP itu pantas diterapkan di lima negara makmur dan maju. Tapi kalau diterapkan Indonesia barangkali belum bisa, masih butuh waktu. Pasalnya, kita masih negara sedang berkembang dan bukan negara maju tapi masih negara mundur,” kata Jerry, Selasa (14/2/2023).
Ia menyatakan Kalau ERP diterapkan di Singapura, Swedia, Jerman, Inggris memang sangat masuk akal. Contohnya di Swedia, kebijakan ini bisa dilakukan karena Pendapatan Bulanan Swedia dilaporkan sebesar 4,212 Dollar Amerika pada November 2022. Meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 4,050 Dollar Amerika.
“Nah, kalau Indonesia, pendapatan kita di bawah standar. UMP saja di atas Rp3 juta. Mungkin bisa diberlakukan, tapi yang dituju hanya mobil mewah saja,” ujarnya.
Jerry mengemukakan seharusnya sebelum mengeluarkan program baru, pemerintah pusat dan daerah harusnya mengevaluasi program yang sudah berjalan.
“Program ETLE atau tilang elektronik itu bagaimana, mati suri tak jelas, seperti apa penerapannya di lapangan?” ujarnya lagi.
Ia menyatakan anggaran negara yang dikeluarkan untuk program ETLE itu sudah cukup besar. Karena, program tersebut telah diterapkan ke puluhan Kota Indonesia.
“Sebetulnya kalau diuji coba dulu dan diterapkan dulu di 3 kota besar di Indonesia, Jakarta, Surabaya dan Medan atau Makasar, barangkali masih bisa. Tapi ini sudah dipasang dipuluhan kota di Indonesia tapi hasilnya kembali ke tilang manual. Akhirnya, hanya buang-buang anggaran saja,” tuturnya.
Ia mengkritik para pembuat kebijakan di Indonesia yang acap kali tak pernah berpikir panjang dan mendasarkan kebijakan pada kajian komprehensif.
“Langsung tancap gas. Tanpa memikirkan manfaat, dampak, sampai keuntungannya. Kalau Kita hitung, 1 ETLE saja harganya senilai Rp3,1 miliar. Di DKI ada 70 ETLE maka pembuatannya menelan dana Rp75 miliar. Nah kalau di seluruh Indonesia berapa miliar saja anggaran yang digelontorkan berbanding dengan hasil yang didapat tak seusai,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa