KedaiPena.Com – Polemik impor beras semakin memanas, setelah Dirut Perum Bulog Budi Waseso alias Buwas menolak menerima beras impor disimpan di gudangnya.
Menurut mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) itu, gudang Bulog sudah penuh, sehingga tak bisa lagi menampung beras impor yang didatangkan Mendag Enggartiasto Lukita.
Kata dia, Bulog saja sekarang harus menyewa gudang-gudang milik TNI-Polri di daerah-daerah.
Buwas menjelaskan, pihaknya harus menyewa gudang Rp 45 miliar demi menampung beras, termasuk menampung gelontoran beras impor. Bila ada lagi beras impor yang datang, entah harus ditaruh di mana lagi.
“Saya bingung ini berpikir negara atau bukan. Coba kita berkoordinasi itu samakan pendapat. Jadi kalau keluhkan fakta gudang saya bahkan menyewa gudang itu kan cost tambahan. Kalau ada yang jawab soal Bulog sewa gudang bukan urusan kita, matamu! Itu kita kan sama-sama negara,” papar dia di Perum Bulog, Jakarta Selatan, kata Buwas beberapa waktu lalu.
Sikap Buwas yang menolak impor beras diacungi jempol Koordinator Gerakkan Perubahan (Garpu) Muslim Arbi. Ia berpendapat, Istana dan DPR wajib kompak untuk tumpas mafia impor pangan yang bebas dari berbagai macam kepentingan.
“Istana dan DPR harus muncul sebagai representasi negara untuk bela bangsa dan kepentingan rakyat. Bukan sebaliknya,” ucapnya kepada redaksi, ditulis Selasa (25/9/2018).
Muslim juga mengimbau agar Presiden Jokowi mencopot Mendag Enggar dan DPR segera bentuk Pansus Pangan menelusuri permainan mafia impor pangan ini.
“Karena kata Bang Rizal Ramli, ada dana triliunan yang diraup dari praktik-praktik ilegal yang rugikan negara dan kaum tani Indonesia,” ujarnya.
Jika Istana dan DPR tidak mampu lakukan tumpas mafia impor pangan ini, kata Muslim, akan memberi legitimasi kuat bahwa kedua lembaga tinggi negara ini memang telah tunduk dan bertekuk lutut di bawah kekuatan mafia.
“Saya khawatir nantinya rakyat memberi jawaban dengan caranya sendiri. Yang justru tidak diduga oleh penguasa negeri ini,” tegasnya.
Sementara itu, aksi mahasiswa terjadi di berbagai penjuru negeri menolak impor beras. Mereka meminta Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menghentikan impor beras.
Seperti di Padang, mahasiswa membuat patung Enggar dari jerami. Mereka menggelar unjuk rasa di halaman kantor Gubernur Sumatera Barat, Senin (24/9/2018) sore. Dalam aksi itu, patung Enggar dari jerami itu dibakar.
Unjuk rasa dilakukan mahasiswa dari BEM-KM Universitas Andalas (Unand) dalam memperingati Hari Tani Nasional, yang jatuh pada hari ini. Aksi dimulai dengan long march dari depan kantor Bank Indonesia. Mahasiswa berjalan kaki sekitar setengah kilometer hingga ke kantor gubernur.
Boneka yang dibakar massa tersebut merupakan simbol penolakan terhadap kebijakan impor yang selama ini dilakukan Menteri Perdagangan. Massa menilai, sebagai negara agraris, pertanian di Indonesia harusnya menjadi sektor yang berdaulat, tapi yang terjadi justru kebalikannya.
“Kita menuntut pemerintah membatasi jumlah impor beras, daging, dan bahan pokok lainnya,” kata Faizil Putra, Presiden BEM-KM Unand.
Menurut Faizil, Dirut Perum Bulog Buwas sudah menegaskan stok beras di gudang masih aman hingga akhir tahun. Namun Menteri Perdagangan berkeras akan melakukan impor beras 1 juta ton hingga akhir September ini.
Mereka menuntut pemerintah meningkatkan produktivitas tanaman pertanian, khususnya padi, jagung, kedelai, dan tanaman sembako. Pemerintah juga dituntut menjamin stabilitas harga produk-produk pertanian dan peternakan.
Para pengunjuk rasa diterima oleh Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit, yang berjanji akan meneruskan tuntutan massa ke Jakarta.
Sementara itu, di Gorontalo, dalam peringatan Hari Tani Nasional ini, ratusan mahasiswa se-Gorontalo yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Pertanian Gorontalo menggelar aksi dengan menolak impor beras di bundaran Hulondalo Indah.
Mahasiswa menuntut pemerintah memperhatikan nasib para petani. Kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah Jokowi-Kalla membuat harga beras di tingkat petani murah.
Muhajir, koordinator aksi Aliansi Mahasiswa Pertanian, menyatakan aksi peringatan Hari Tani Nasional sebagai refleksi agar pemerintah lebih memperhatikan petani.
“Program Nawacita yang diagungkan pemerintah JK-Kalla tidak semua menyentuh para petani dan masyarakat. Banyak lahan pertanian tetapi para petani tidak mendapat untung,” ucap Muhajir.
Aksi ini, selain menyorot penolakan impor beras, meminta pemerintah tidak berbohong soal masalah pertanian.
“Kami melihat pemerintah sekarang sudah berbohong bahwa sektor pertanian sudah berhasil. Panen raya yang sering diberitakan semuanya adalah bohong dan penuh dengan pencitraan. Nyatanya, kami anak-anak petani turut merasakan dampak dari impor dan pencitraan pemerintah,” jelas Muhajir.
Adapun di Aceh, ratusan mahasiswa gabungan di Lhokseumawe berdemo di kantor DPRK Aceh Utara, Aceh. Mereka menuntut penghentian impor beras karena daya serap hasil panen petani di daerah masih sangat rendah.
“Kami minta pemerintah menyejahterakan masyarakat dengan meningkatkan daya beli hasil pertanian, kelautan, dan perikanan. Hentikan impor beras, mulai kedaulatan pangan,” kata koordinator aksi Musliadi Salidan kepada wartawan di gedung DPRK Aceh Utara, Senin (24/9/2018).
Pada peringatan Hari Tani Nasional, Musliadi menyebutkan petani di daerah hingga kini belum sejahtera. Realitas di lapangan rata-rata petani, khususnya di Aceh, masih hidup di bawah garis kemiskinan. Seharusnya dalam hal ini eksekutif dan legislatif lebih peka dan peduli terhadap nasib para petani.
“Pemerintah dan legislatif harusnya berpikir bagaimana caranya meningkatkan kesejahteraan petani. Jangan asyik sibuk dengan hal lainnya. Banyak petani masih miskin, apalagi sekarang impor beras sangat gencar. Mau dibawa ke mana hasil panen mereka,” sebut Musliadi.
Musliadi mendesak pemerintah menampung hasil panen petani. Tentunya dengan harga yang baik sehingga taraf hidup petani meningkat. Selanjutnya, menolak dengan keras pertemuan IMF-WB di Indonesia.
Aksi gabungan mahasiswa dimulai sejak pukul 10.00 WIB tadi. Aksi mereka dimulai di depan Tugu Rencong, Kota Lhokseumawe, selanjutnya melakukan long march dan berhenti di gedung DPRK Aceh Utara.
Di gedung terhormat itu, mereka mengutarakan aspirasi kepada Dewan. Sayangnya, mereka hanya ditemui oleh seorang anggota Dewan dan Sekretaris Dewan setempat. Pejabat itu (Sekwan) menyebutkan ketua dan para anggota Dewan belum semuanya hadir. Mereka (Dewan) akan hadir pada pukul 14.00 WIB karena ada rapat.
Setelah mendengar hal itu, mahasiswa, yang sempat bentrok dengan aparat kepolisian, membubarkan diri. Pada siang harinya, mereka kembali berdemo dan bertemu dengan perwakilan Dewan. Wakil Ketua Dewan menghampiri ratusan pendemo dan menandatangani petisi yang diminta oleh para mahasiswa tersebut.
Laporan: Muhammad Hafidh