KedaiPena.com – Menurunkan jumlah bandara internasional, dinilai akan memberikan nilai positif bagi Indonesia. Terutama, jika penentuan status bandara internasional itu didasarkan pada kajian potensi dan sumber daya wilayah sekitar, bukan hanya menilai dari pendapatan bandara itu sendiri.
Pengamat Transportasi Bambang Haryo Soekartono (BHS) mengaku setuju dengan pengaturan jumlah bandara internasional yang dilakukan oleh Kementerian Perhubungan baru-baru ini.
“Karena bandara internasional ini sebenarnya tak perlu banyak tapi harus menjadi bandara hub, yang mampu menjadi trigger bagi pengembangan dan peningkatan sektor ekonomi di wilayah sekitarnya. Yang dikejar itu pemasukan devisa negara, bukan keuntungan bandaranya,” kata BHS, Selasa (30/4/2024)
Dalam artian, infrastruktur bandara ini bukanlah infrastruktur yang mencari untung atau profit oriented tapi mampu menjadi pembuka atau jendela atas pengembangan potensi di daerah tersebut.
“Misalnya, jika wilayah sekitar bandara itu memiliki potensi wisata, maka bandara internasional adalah pintu bagi para wisatawan asing untuk datang ke wilayah tersebut. Jika memang lokasi wisatanya agak jauh, maka yang disiapkan lah bandara scope atau infrastrukur darat sebagai feeder-nya,” ujarnya.
Lagipula, sesuai dengan asas cabotage, keberadaan bandara hub ini juga akan melindungi transportasi milik asing masuk ke wilayah pelosok Indonesia.
“Jadi transportasi milik asing itu hanya bisa masuk di bandara internasional. Untuk ke wilayah yang lebih pelosok, maka transportasi domestik atau transportasi lokal lah yang bergerak. Sehingga, transportasi domestik atau lokal ini bisa berkembang. Dan devisa negara sektor transportasi tidak akan masuk ke negara lain,” kata BHS.
Selain menjaga transportasi domestik, keberadaan bandara internasional yang tidak banyak juga akan menjadikan biaya pengamanan negara lebih ekonomis.
“Kalau di bandara internasional, pasti harus ada imigrasi, bea cukai. Kalau bandara internasional-nya banyak, artinya banyak juga pos imigrasi maupun bea cukainya, kalau sedikit, tentunya yang dibutuhkan lebih sedikit,” urainya lagi.
Yang tak kalah pentingnya, dengan mempersedikit pintu masuk, maka juga akan memperkecil potensi terjadinya hal negatif, dalam hal ini lintas manusia atau barang ilegal dan terlarang. Misalnya seperti mencegah potensi masuknya narkoba.
Tapi, ia mengingatkan bahwa ada hal penting yang menjadi dasar penentuan status bandara internasional ini. Yakni, penentuan tersebut harus didasarkan pada kajian potensi sumber daya wilayah sekitarnya, yang datanya berasal dari berbagai kementerian dan lembaga, antara lain Kemenparekraf dan Kementerian Perindustrian.
“Sebagai contoh, Changi (red: Bandara Internasional Singapura) itu bandara transit. Tapi lihat bagaimana pemerintah Singapura mampu menjadikan Changi sebagai etalase dari negaranya. Akhirnya, berdatangan lah turis mancanegara ke Singapura. Bayangkan jika Aceh itu bisa dijadikan etalase Indonesia dapat menjadi bandara transit internasional,” ujar BHS.
Contoh lainnya, Bandara Charles de Gaulle Perancis yang menjadi bandara transit skala internasional dari mayoritas negara Eropa.
“Akhirnya apa? Perancis menjadi negara dengan jumlah turis terbesar dunia, pernah menyentuh 250 juta wisatawan per tahun. Luar biasa kan. Karena apa, bandaranya bisa menjadi wadah promosi bagi Perancis. Kenapa Indonesia tidak menjadi seperti itu,” ujarnya lagi.
Ia menegaskan pengelola bandara tidak bisa mengutamakan bandara harus untung. Tapi, bandara internasional harus bisa didorong menjadi kunci pendapatan negara atau daerah yang berasal dari investasi, perdagangan, kegiatan usaha, hingga transaksi wisatawan yang datang melalui bandara tersebut.
“Devisa negara yang didapat dari kegiatan itu lah yang menjadi keuntungan. Bukan dari bandaranya. Coba lihat di luar negeri, bandara dan maskapai nasionalnya banyak yang rugi tapi negara mendapatkan keuntungan. Coba berkaca pada Malaysia, Jepang hingga Amerika,” kata BHS.
Sehingga, Politisi Gerindra ini menegaskan pemerintah harus benar-benar mengkaji status bandara atau pembangunan bandara berdasarkan potensi yang ada di wilayah tersebut.
“Kalau memang memiliki potensi skala internasional, seperti Aceh, ya jangan dimatikan potensinya. Jangan dilihat traffic penerbangan yang ada sekarang tapi harus digali potensi yang ada. Jangan hanya dihitung untung rugi dari traffic yang saat ini terjadi saja,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa