Artikel ini ditulis oleh Ubedilah Badrun, Analis Sosial Politik UNJ, Penulis Buku Gerakan Mahasiswa.
SABTU lalu (3/9/2022) pemerintah resmi menaikan harga BBM dengan alasan beban subsidi yang berat dan subsidi yang salah sasaran, sehingga BBM harus dinaikan dan subsidi dialihkan melalui bantalan bantuan langsung.
Argumen pemerintah ini argumen terburuk sepanjang sejarah kenaikan BBM. Sebab paradigma melihat subsidi sebagai beban itu sama saja meludahi konstitusi UUD 1945. Argumen subsidi salah sasaran itu juga artinya pengakuan buruknya tata kelola subsidi. Kok bisa salah sasaran dilakukan bertahun-tahun.
Sepertinya perlu diingatkan bahwa paradigma subsidi itu diambil dari pasal 33 UUD 1945. Dari ayat 3 yang berbunyi “Bumi Air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Jadi subsidi itu perintah konstitusi UUD 1945 yang secara tegas ada pada kalimat “..dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Itu maknanya pemerintah wajib mensubsidi rakyatnya, sebab pemerintah diberi wewenang oleh rakyat untuk mengelola kekayaan negara.
Jika pemerintah mengurangi subsidi itu maknanya pemerintah gagal mengelola kekayaan negara. Pertanyaanya dikemanakan saja itu kekayaan negara? Dikeruk oleh oligarki? Itu juga maknanya pemerintah telah mengabaikan hak-hak rakyat yang dijamin oleh konstitusi.
Mari kita lihat hasil kekayaan alam kita saat ini. Misalnya satu saja, yaitu batu-bara. Ternyata tahun ini harga rata-rata bulanan batu bara naik $17, sekitar Rp250.000 per ton, ekspor rata-rata per bulan 28,75 juta ton (tahun lalu). ‘Rezeki langit’ ini jika dihitung mencapai Rp.7.187.500.000.000 per bulan.
Kalau selama 6 bulan sepanjang 2022 ini naik sekitar $170 per ton, berarti ada ‘rezeki langit’ selama 6 bulan ini mencapai Rp.431,25 triliun! Ini dahsyat! Saya sebut ‘rezeki langit’ karena tanpa perlu kerja keras, tinggal keruk dan jual kekayaan batu bara kita dapat uang sebanyak itu.
Dengan mencermati selama 6 bulan ini ‘rezeki langit’ mencapai Rp.431,25 triliun! Lalu pertanyaanya rakyat dapat apa? Siapa yang paling diuntungkan dari penjualan batu bara itu? Bukan rakyat!
Rakyat justru dapat harga BBM dinaikkan. Harga pertalite naik Rp.2.350 per liter, dari Rp.7.650 menjadi Rp.10.000.
Harga solar naik Rp.1.650 per liter, dari Rp.5.150 menjadi Rp. 6.800. Uang yang harusnya diterima rakyat tetapi tersedot hingga bisa mencapai Rp.31,75 triliun.
Rakyat yang seharusnya mendapat bagian dari kekayaan alam yang dikeruk, nyatanya penderitaan demi penderitaan yang didapat. Jadi sudah benar mahasiswa bergerak membela rakyat!
Dalam banyak literatur tentang social movement, gerakan mahasiswa ditempatkan sebagai gerakan sosial kelas menengah terpelajar yang paling ditakuti oleh rezim yang berkuasa, apalagi rezim korup dan tidak berpihak kepada rakyat (Meredith L.Weiss, Edward Aspinall, Student Activism in Asia: Between Protest and Powerlessness, 2012).
Dalam konteks itu demonstrasi mahasiswa menolak kenaikan BBM sudah benar, mereka menyuarakan suara rakyat. Keberadaan gerakan mahasiswa ini sangat penting ditengah parlemen sudah tidak lagi menyuarakan suara rakyat yang sesungguhnya.
Problemnya, di banyak negara secara empirik gerakan mahasiswa membela rakyat itu hanya akan menang ketika mereka mampu bertahan berhari-hari bahkan berbulan-bulan untuk menyuarakan aspirasinya? Akankah mahasiswa mampu bergerak berhari-hari bahkan berbulan-bulan?
Fakta historisnya itu pernah dilakukan gerakan mahasiswa di Indonesia. Apalagi gerakan mahasiswa didukung gerakan buruh, akademisi, nelayan, petani dan mayoritas rakyat Indonesia.
[***]