Artikel ini dibuat oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior.
PARTAI politik di Indonesia hari ini umumnya mengalami set back.
Tatakelolanya feodal karena dijalankan dengan manajemen perusahaan keluarga.
PDIP, yang mengakar pada PNI, selain set back, kini sudah kehilangan pesona sejarahnya.
Elit-elitnya bertikai bukan karena benturan garis perjuangan untuk mewujudkan ajaran Sukarno, tapi lebih banyak terlibat dalam korupsi.
Yang aktual antara lain kasus korupsi Bansos Covid-19 yang melibatkan Juliari Batubara dan elit lainnya di partai itu.
Hal ini berbeda dengan embrio yang melahirkannya, yaitu PNI, yang sejak 1930-an hingga 1960-an para elitnya berkonflik karena penafsiran garis perjuangan.
Timbul-tenggelam dengan nama-nama seperti PNI Pendidikan di bawah Bung Hatta, PNI Asu (Ali Sastroamidjojo-Surachman), PNI Osa-Usep (Osa Maliki-Usep Ranawidjaya), PNI Supeni, PNI Marhaenisme, dan sempalannya yang lain.
PNI yang didirikan Sukarno, 1927, adalah partai terbuka. Menentang feodalisme dan tidak dikelola seperti perusahaan keluarga.
Para pendirinya dari berbagai tokoh dan tongkat estafetnya dipegang secara bergantian.
Terdapat nama-nama seperti Tjipto Mangunkusumo, Mr Sartono, Mr Sunaryo, Ali Sastroamidjojo, dan lainnya, selain Sukarno.
Set back karena feodal dan gelisah adalah gambaran PDIP saat ini yang dibayangi oleh pertanyaan:
Siapa yang akan menjadi pengendali partai kalau Megawati pensiun dari politik?
Trah Sukarno yang disebut-sebut penerus tongkat estafet PDIP seperti Puan dan Prananda, ironisnya kini lebih banyak dikenal publik sebagai penikmat kekuasaan, ketimbang memperjuangkan ideologi Sukarno.
Prananda dianggap tidak memiliki leadership. Meskipun ngerti sejarah ia tipe yang gamang jika harus tampil di muka publik.
Dibandingkan dengan Puan, ia sosok yang dimunculkan belakangan oleh Mega, setelah Puti, anak Guntur Sukarnoputra yang dikasih tempat sebentar di panggung PDIP.
Puan Maharani sendiri dianggap memiliki tendensi negatif yang dapat membenamkan PDIP. Antara lain karena kiprahnya sebagai Ketua DPR yang terekam dalam memori publik dengan catatan negatif.
Di sisi lain nama Budi Gunawan yang memiliki kedekatan dengan Megawati dianggap tidak identik dengan Sukarnoisme. Yang kalau dipaksakan berpotensi menimbulkan resistensi di kalangan faksi-faksi internal PDIP yang sangat majemuk.
Nama-nama lain yang juga dispekulasikan bakal menduduki pucuk pimpinan tertinggi PDIP adalah Pramono Anung, pemain bisnis merangkap politisi, Hasto Kristiyanto, aktivis dari poros minoritas, dan Komarudin Watubun.
Sedangkan Ganjar Pranowo dianggap off side oleh Mega karena jauh-jauh hari sudah nyelonong mempersiapkan diri jadi capres.
Publik pun tau jika dirunut nama-nama tersebut di atas bukanlah merupakan sosok yang memiliki track record yang konkret dalam memperjuangkan Sukarnoisme, terutama dalam mengaplikasikan ajaran Trisakti.
Selain harus mengubah model manajemen partai yang seperti perusahaan keluarga, PDIP juga harus mengubah model nasionalismenya yang selama ini sekedar nasionalisme panggung, nasionalisme poster, dan nasionalisme yang menjual jargon Sukarnoisme belaka, jika tidak ingin tenggelam dan semakin kehilangan kepercayaan rakyat.
Model nasionalisme seperti ini bukan saja harus ditinggalkan, tetapi juga tidak memberikan makna pendidikan politik apa-apa kepada rakyat, selain menghidup-hidupkan romantika sejarah.
Critical point-nya adalah cita-cita politik PNI 1927 seharusnya dihidupkan kembali. PDIP harus mengikuti khittah PNI 1927 yang merupakan partai terbuka. Inilah salah satu tugas sejarah Megawati saat ini.
[***]