KedaiPena.com — Menanggapi penurunan penerimaan negara, Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Ekonomi dan Keuangan, Ecky Awal Mucharam menyatakan bahwa sejak lama pemerintah memang tidak dapat lepas dari sumber penerimaan jangka pendek dan menjadi riskan ketika harga komoditas mulai turun.
“Sejak lama, penerimaan negara memang sangat bergantung dari ledakan komoditas. Sejarah mencatat, bahwa tren peningkatan rasio pajak terjadi hanya jika Indonesia mengalami ledakan komoditas. Jika menilik ke belakang, tax ratio pernah berada pada level yang tinggi dikarenakan adanya ledakan komoditas seperti yang terjadi sekitar tahun 2008. Ledakan tersebut yang kemudian mendorong tercapainya target penerimaan sebesar 106,7 persen terhadap target. Setelahnya, rasio pajak konsisten turun hingga single digit yakni 9,89 persen pada 2017, 9,76 persen pada 2019, dan bahkan 8,33 persen pada 2020 imbas dari Covid-19. Penerimaan pajak kemudian tertolong ledakan harga komoditas saat pemulihan,” kata Ecky dalam keterangan tertulisnya, Selasa (2/7/2024).
Ia menyatakan Pemerintah belum menyusun jalan keluar dari penurunan harga komoditas yang mulai terjadi.
“Fraksi PKS sejak beberapa tahun yang lalu sudah mengingatkan Pemerintah untuk segera menyusun exit strategi dari dampak moderasi komoditas. Sebab, penurunan harga komoditas sangat sensitif terhadap penerimaan negara,” ujarnya.
Ecky menyampaikan Bank Dunia sudah memprediksi adanya potensi penurunan indeks harga komoditas dunia pada tahun 2024 menjadi 105,3 dan 2025 sebesar 101,6. Indeks tersebut jauh di bawah indeks harga pada tahun 2022 yang bahkan mencapai 142,5 dan 2023 yang berada di angka 108.
Harga komoditas-komoditas mineral dan Batubara yang menjadi tumpuan ekspor dan penerimaan negara diprediksi akan mengalami penurunan yang drastis. Batubara misalnya, diprediksi akan turun hingga menjadi 110 Dollar per metric ton pada 2025, dari yang sebelumnya mencapai sekitar 334 Dollar per metric ton.
Bahkan harga nikel diprediksi akan mengalami penurunan yang signifikan menjadi hanya 18.000 Dollar per metric ton pada 2025, dari yang sebelumnya sekitar 24.000 Dollar per metrik ton pada 2022.
“Jika hal ini tidak diantisipasi, penurunan harga komoditas akan memberikan dampak yang lebih dalam terhadap capaian penerimaan,” ujarnya lagi.
Ia kemudian menyoroti bahwa kondisi penerimaan negara ini merupakan lampu kuning bagi Pemerintah dalam pengelolaan APBN.
“Ini menjadi lampu kuning bagi pemerintah. Di tengah ruang fiskal yang sempit akibat desakan belanja, turunnya penerimaan tentu akan menjadi persoalan bagi APBN. Di satu sisi, proyek-proyek mercusuar terus digenjot. Belum lagi program janji politik yang akan mulai dimasukkan ke dalam APBN tahun depan diprediksi semakin menekan ruang fiskal yang ada,” kata Ecky lebih lanjut.
Menurutnya, jika kondisi ini terus berlangsung maka dikhawatirkan beban utang akan terus bertambah. Ecky merinci bahwa saat ini, utang pemerintah sudah sekitar Rp8.262 triliun. Peningkatan tersebut menurutnya bahkan mencapai lebih dari Rp5.000 triliun sejak 2014.
“Jika proyek-proyek mercusuar terus jalan, dan penerimaan terus merosot karena komoditas mulai menurun, maka beban utang akan terus bertambah. Bahkan, untuk pembayaran bunga saja pada 2024 sudah mencapai 15 persen dari total belanja negara. Saya khawatir bukan hanya soal utang yang terus meningkat, namun juga persoalan crowding out dana publik. Sentimen suku bunga the Fed akan memiliki konsekuensi pada peningkatan tingkat yield SBN. Hal ini akan berdampak pada peningkatan beban bunga pada masa yang akan datang,” paparnya.
Untuk itu, imbuh Ecky, pihaknya mendorong spending better dalam belanja negara. Pemerintah perlu menghentikan pengeluaran yang tidak perlu seperti proyek-proyek mercusuar yang bukan menjadi prioritas.
“Berikutnya, pertebal bantalan sosial bagi masyarakat miskin dan rentan!. Kenaikan harga pangan, energi, dan listrik punya dampak instan dalam memukul masyarakat miskin dan mereka yang rentan untuk jatuh dalam jurang kemiskinan,” ujarnya.
Prioritas fiskal secara total, imbuh Ecky, harus dialokasikan untuk membantu masyarakat tersebut. Anggaran belanja sosial perlu ditambah, salah satu yang menjadi perhatian adalah subsidi upah dan bantuan langsung bagi buruh dan pekerja informal di sektor pertanian. Di tengah gejolak harga pangan, bantalan tersebut menjadi penting.
“Sebab, kenaikan harga yang terjadi di satu sisi tidak dapat diikuti oleh peningkatan pendapatan. Hasil hitungan dengan menggunakan data mikro Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan tenaga kerja tumbuh hanya sekitar 1,7 persen pada tahun. Peningkatan ini tidak mampu mengimbangi inflasi yang ada,” tutup Anggota DPR RI dari Dapil Jawa Barat III ini.
Sebelumnya, dalam konferensi pers APBN KITA, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Mei 2024 baru sebesar Rp 1.123,5 triliun, atau turun 7,1 persen dibanding periode yang sama tahun lalu Rp1.209 triliun.
Menteri Keuangan merinci bahwa penerimaan pajak hingga bulan Mei 2024 sebesar Rp760,4 triliun, dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yakni sebesar Rp830,5 triliun. Artinya, sampai dengan bulan Mei 2024, realisasi target pajak baru mencapai 36,2 persen.
Laporan: Ranny Supusepa