Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS.
Pagi ini, 13 April 2024, saya berkomunikasi dan berdiskusi ringan dengan senior dan juga guru saya, Kwik Kian Gie. Kami satu almamater dari Erasmus University Rotterdam, Belanda.
Kami memang cukup sering berdialog tentang perkembangan ekonomi dan politik Indonesia.
Diskusi kali ini seputar tulisan saya satu hari sebelumnya, dengan judul: “Wawasan Yusril Sempit Untuk Bisa Membedakan Ahli Ekonomi, Ahli Hukum, atau Ahli Nujum”.
Kebetulan, Pak Kwik juga menonton langsung kesaksian saya sebagai Ahli Ekonomi di Mahkamah Konstitusi.
Di bawah ini saya kutip tanggapan dan pernyataan Pak Kwik yang sangat inspiratif atas tulisan saya tersebut, tanpa ditambah atau dikurangi.
KKG: Dalam waktu yang lama Panitia Nobel tidak mengakui ekonomi sebagai ilmu pengetahuan. Maka tidak pernah ada hadiah Nobel untuk Ilmu Ekonomi.
Pada satu hari ada seorang Doktor dalam ilmu Fisika dan Matematika. Namanya Jan Tinbergen.
Dia melakukan pengukuran tentang hubungan kausal maupun interdependen antara berbagai variabel dalam kehidupan ekonomi.
Contoh sangat sederhana: kalau mau omset apel naik dengan 40 persen, harganya harus diturunkan dengan 20 persen. Yang diukur atau dikuantifikasi olehnya menyeluruh sampai hubungan kuantitatif antara kenaikan upah dan pengangguran. Dampak makan siang gratis pada business cycle (kalau ada), yang semuanya ada angka-angkanya. Keseluruhan teori dan teknik serta proses kuantifikasinya disebut Ilmu Ekonometri.
Dia dianggap sebagai Ahli Ekonomi yang hebat sampai diminta bantuannya oleh PBB, India, Mesir, dan masih banyak negara lain. Ciptaannya diakui sebagai ilmu pengetahuan. Panitia hadiah Nobel dan Dr. Jan Tinbergen dianugerahi hadiah Nobel yang pertama dalam ilmu ekonomi.
Di dunia dia terkenal sebagai Ekonom dan Econometrist. Tapi dia tidak punya ijasah dalam bidang Ekonomi.
Pertanyaan kepada para sarjana di Indonesia: Jan Tinbergen itu Ahli Ekonomi atau Ahli Nujum? Lebih-lebih lagi karena dia melakukan prediksi.
Jakarta, 13 April 2024
[***]