SELAMA periode pasca Reformasi 1998 sudah terjadi empat kali pemilu legislatif dengan empat ambang batas yang berbeda -di dalam kurung- yaitu pada tahun 1999 (2%), 2004 (3%), 2009 (2,5%), dan 2014 (3,5%). Dan juga tiga kali pemilihan presiden dengan tiga ambang batasnya -di dalam kurung-yaitu pada tahun 2004 (7%), 2009 (20%), dan 2014 (20%). Sementara pada saat yang nyaris bersamaan, sejak 1999 hingga 2015 kondisi ketidakadilan sosial yang direpresentasikan dengan indeks Gini Ratio terus memburuk.
Pada tahun 1999, saat dilangsungkan pemilu pertama setelah era otoriter, indeks masih di level yang cukup baik, di kisaran 0,308. Namun pada tahun 2005, setahun setelah pemilu dan pilpres 2004, indeks sudah melompat ke level 0,36. Kemudian pada tahun 2010, setahun setelah pemilu dan pilpres 2009, indeks kembali naik hingga ke level 0,38. Terakhir, pada tahun 2015, setahun pasca pemilu dan pilpres 2014, indeks terus naik hingga ke level 0,41.
Setelah kami menyandingkan data ambang batas pemilu dan pilpres dari periode ke periode dengan data kenaikan indeks gini dari tahun ke tahun, ternyata terdapat korelasi antara penerapan ambang batas dengan memburuknya ketidakadilan sosial.
Penerapan dua ambang batas pemilu yang meningkat dari 2% ke 3% pada tahun 1999 dan 2004, serta sekali ambang batas pilpres 2004 di level 7%, telah menghasilkan lompatan tajam indeks gini dari 0,308 ke 0,36. Kemudian pada tahun 2009, memang ambang batas pemilu turun ke 2,5%, namun ambang batas pilpres malah melompat ke 20%, akibatnya pada tahun 2010 indeks gini kembali melonjak ke kisaran 0,38. Akhirnya pada tahun 2014, memang ambang batas pilpres tetap di 20%, tapi ambang batas pemilu naik ke 3,5%, pada tahun 2015 indeks gini mencapai puncaknya di 0,41.
Artinya sistem demokrasi politik yang terjadi, yang memberlakukan ambang batas, tidak mampu menghasilkan parpol dan pemimpin politik yang mampu menjamin terciptanya demokrasi ekonomi demi mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Putusan MK Perkuat Sistem Presidensial dan Bubarkan Demokrasi Tukang Peras
Memang solusi idealnya adalah dengan menghapuskan seluruh ambang batas baik untuk pemilu parlemen maupun untuk pilpres. Namun sekecil apapun kemenangan tetap harus disyukuri. Pada bulan Januari 2014 akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan suatu perkara yang dapat membawa maju sistem politik ke arah tersebut. Dengan Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, MK telah memutuskan bahwa Pemilu dan Pilpres 2019 dilaksanakan secara serentak, yang secara otomatis akan menghapuskan sistem ambang batas untuk pilpres.
Hal ini tercapai dengan dihapuskannya oleh MK pasal 3 ayat (5), pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), pasal 14 ayat (2) dan pasal 112 dalam UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden karena dipandang bertentangan dengan UUD 1945. Seorang hakim anggota MK yang ikut memutus, Ahmaf Fadlil Sumadi, dalam pertimbangannya berpendapat bahwa putusan ini akan memperkuat Sistem Presidensial:
Dalam penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan tahun 2009 yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan ditemukan fakta politik bahwa untuk mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden dan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan, jika terpilih, calon Presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang berakibat sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari. Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang, misalnya karena persamaan garis perjuangan partai politik jangka panjang.
Oleh karena itu, Presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai politik yang menurut Mahkamah dapat mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial. Dengan demikian, menurut Mahkamah, penyelenggaraan Pilpres harus menghindari terjadinya negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang. Hal demikian akan lebih memungkinkan bagi penggabungan partai politik secara alamiah dan strategis sehingga dalam jangka panjang akan lebih menjamin penyederhanaan partai politik
Perlu digarisbawahi, karena telah menjadi pengetahuan umum, dalam negosiasi dan tawar menawar yang bersifat taktis dimaksud di atas seringkali diiringi dengan transaksi uang yang jumlahnya tidak kecil. Di sini parpol pemilik suara akan mematok harga kepada para capres yang berharap dukungan parpol. Sehingga parpol dapat diibaratkan seperti tukang peras, dan capres adalah korban pemerasan. Beda dari biasanya, dalam konteks pilpres korban pemerasan lah yang datang mencari-cari para tukang perasnya.
Semakin tinggi ambang batas untuk pilpres, maka harga pemerasan akan semakin tinggi. Beruntunglah bagi capres yang memiliki modal uang cukup, yang tentu orang-orang yang 4L (Loe lagi Loe Lagi). Tapi bagi yang tidak bermodal besar, jangan harap dapat masuk ke gelanggang pilpres. Seringkali untuk membayar para tukang perasnya, para capres kemudian terpaksa meminta bantuan dana dari para taipan. Sama saja artinya dengan menyerahkan leher mereka untuk diikat taipan. Fenomena yang kerap disebut sebagai oligarki ekonomi politik.
Demokrasi ala Tukang Peras semacam ini akan bubar (atau ditekan biayanya seminimal mungkin) bila ambang batas pilpres dihapuskan. Sehingga setiap parpol yang lolos ambang batas pemilu dapat mencalonkan capresnya masing-masing, para tokoh alternatif yang benar-benar dapat membawa mayoritas rakyat menuju cita-cita Keadilan Sosial. Â
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP), Pembelajar Demokrasi