KedaiPena.Com- Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LBH Jakarta, YLBHI, ICJR, IJRS, HRWG, Institut Perempuan, LBH Masyarakat, LeIP, KontraS, SETARA Institute, PSHK, ELSAM, Amnesty International Indonesia, Public Virtue Institute, PBHI, PIL-Net, ICEL, Asosiasi LBH APIK Indonesia, Imparsial, LBH Pers meminta penyelidikan yang serius terkait dengan kasus penembakan kepada 6 anggota laskar FPI.
Ketua Divisi Advokasi LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora dalam keterangan, Rabu, (9/12/2020), mengatakan, penyelidikan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel terkait penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
“Koalisi mendesak Pemerintah untuk membentuk tim independen melibatkan Komnas HAM dan Ombudsman RI untuk menyelidiki dengan serius tindakan penembakan dari aparat kepolisian dalam peristiwa tersebut, serta membuka hasil fakta-fakta yang ditemukan dari proses penyelidikan tersebut,” kata dia dalam keterangan, Rabu, (9/12/2020).
Koalisi menegaskan, penggunaan dengan senjata api oleh kepolisian seharusnya hanya merupakan upaya terakhir yang sifatnya untuk melumpuhkan.
“Dan hanya dapat dilakukan oleh anggota Polri ketika ia tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan dan perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut,” tegas dia.
Atau, kata dia, ketika anggota Polri tersebut sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Koalisi meminta agar dilakukan penyelidikan independen yang serius terhadap penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, peristiwa ini harus diusut secara transparan dan akuntabel,” papar dia.
Tindakan extrajudicial killing atau pembunuhan di luar putusan pengadilan, lanjut dia, yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap orang-orang yang diduga terlibat kejahatan merupakan sebuah pelanggaran ham dan pelanggaran hukum acara pidana yang serius.
“Orang-orang yang diduga terlibat kejahatan memiliki hak untuk ditangkap dan dibawa ke muka persidangan dan mendapatkan peradilan yang adil (fair trial) guna membuktikan bahwa apakah tuduhan yang disampaikan oleh negara adalah benar,” ungkap dia.
Ia menegaskan, hak-hak tersebut jelas tidak akan terpenuhi apabila para tersangka dihilangkan nyawanya sebelum proses peradilan dapat dimulai.
“Penuntutan terhadap perkara tersebut akan otomatis gugur karena pelaku meninggal dunia,” papar dia.
Koalisi khawatir tindakan brutal dan melanggar seperti ini tidak mendapatkan sanksi. Selama ini, hampir tak ada penegakan hukum serius terhadap tindakan extrajudicial killing yang diduga kuat oleh aparat.
“Akibatnya kasus-kasus serupa terus berulang. Dalam catatan YLBHI misalnya menemukan sedikitnya 67 orang meninggal sebagai korban tindakan extra-judicial killing pada tahun 2019. Berkaca pada kasus-kasus tahun 2019, mayoritas pelaku adalah aparat kepolisian yaitu 98,5% atau 66 kasus dan sisanya (1 kasus) terindikasi militer,” tegas dia.
Koalisi tidak menampik bahwa anggota kepolisian juga harus dilindungi dalam kondisi yang membahayakan nyawanya. Adapun upaya penembakan yang ditujukan untuk melumpuhkan pelaku kejahatan memang diperbolehkan dalam keadaan tertentu.
Misalnya, dalam perkap nomor 1/2009 secara tegas dan rinci telah menjabarkan dalam situasi seperti apa upaya penembakan dapat dilakukan dan prinsip-prinsip dasar apa saja yang harus selalu dipegang teguh oleh aparat kepolisian dalam melakukan upaya penembakan tersebut.
“Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Perkap 1/2009, sebelum memutuskan untuk melakukan penembakan dengan senjata api, aparat wajib mengupayakan terlebih dahulu tindakan seperti perintah lisan, penggunaan senjata tumpul, senjata kimia seperti gas air mata atau semprotan cabe,” ungkap dia.
Setelah segenap upaya tersebut dilakukan, aparat kepolisian baru diperbolehkan menggunakan senjata api atau alat lain dengan tujuan untuk menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka. Itu pun hanya apabila terdapat ancaman yang bersifat segera yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.
Dengan kata lain, penggunaan senjata api harus merupakan upaya yang paling terakhir (last resort) dan sifatnya adalah melumpuhkan bukan mematikan. Ia menegaskan, upaya penembakan dengan senjata api hanya dapat dilakukan oleh anggota Polri ketika ia tidak memiliki alternatif lain.
“Baik yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan dan perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut atau ketika anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat,” jelas dia.
“Setiap tindakan yang diambil oleh aparat kepolisian haruslah sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku serta dapat dipertanggungjawabkan,” tambah dia.
Terakhir, koalisi juga mendesak, agar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan terhadap saksi.
“Yang keterangannya sangat diperlukan untuk membuat terang perkara ini,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Lutfi