KedaiPena.com – Rentetan hujan yang menghantam Jabodetabek dan sekitarnya disebut Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai kemarau basah.
Peneliti Klimatologi pada Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, BRIN, Erma Yulihastin menyebutkan kemarau basah yang terjadi di sebagian besar Jawa ini akan diikuti dengan musim hujan yang datang lebih awal yaitu bulan September.
“Selanjutnya, hujan mengalami intensifikasi atau peningkatan secara signifikan sehingga maksimum hujan atau puncak musim hujan untuk kawasan barat Indonesia seperti Jawa, Sumatra, Kalimantan, terjadi pada bulan Oktober-November 2022,” kata Erma saat dihubungi, Jumat (7/10/2022).
Ia menjelaskan, kejadian ini dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, La Nina dan Pacific Decadal Oscillation negatif yang masih berlanjut.
Kedua, fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) negatif yang mencapai intensitas terkuat pada bulan Oktober 2022. Kedua faktor ini telah berperan menyediakan dukungan kelembapan dan uap air yang berlimpah sebagai sumber energi bagi aktivitas pembentukan awan dan hujan.
Ketiga, pembentukan pusaran angin skala meso dengan radius ratusan kilometer atau disebut vorteks yang terjadi di Samudra Hindia dan Laut China Selatan. Pembentukan badai vorteks di Samudra Hindia telah terjadi sejak awal Oktober dan semakin menguat sehingga menjadi siklon tropis 03S pada 6 Oktober 2022.
“Selama proses pembentukan dan penguatan badai vorteks tersebut, cuaca ekstrem berupa hujan ekstrem dan angin kencang telah melanda sejumlah wilayah di Jawa bagian barat termasuk Banten dan Jabodetabek. Hujan setiap hari turun secara persisten sejak siang hari dan bertahan hingga malam,” paparnya.
Kondisi ini, lanjut Erma, tidak semata terjadi karena hujan diurnal yang dibangkitkan oleh angin darat laut melainkan juga karena maraknya pembentukan klaster awan-awan raksasa atau disebut dengan istilah sistem awan konvektif skala meso di atas darat wilayah Jawa bagian barat.
“Sehingga ini membuat kondisi atmosfer semakin lembap dan jenuh karena pengaruh sisa-sisa awan meso yang telah terbentuk pada hari-hari sebelumnya. Inilah yang juga dapat memicu hujan ekstrem pada skala lokal, karena efek dari penumpukan energi yang mengalami pelepasan dalam bentuk cuaca ekstrem terjadi hampir setiap hari sejak awal Oktober dan diperkirakan bertahan hingga hingga akhir bulan,” paparnya lagi.
Maka, dampak intensifikasi hujan selama bulan Oktober mengakibatkan banjir di Jakarta sudah mulai terjadi dan akan semakin meluas seiring dengan maraknya kejadian cuaca ekstrem baik di Jakarta maupun di area penyangga Jakarta bagian selatan yaitu Depok dan Bogor.
“Tidak perlu menunggu Januari bagi Jakarta mengalami banjir meluas, sebab puncak hujan terjadi pada Oktober dan November,” kata Erma mengingatkan.
Pada bulan Desember dan Januari, justru sektor barat Indonesia cenderung kering, namun sebaliknya wilayah di bagian tenggara Indonesia akan mengalami sering mengalami potensi hujan ekstrem sehingga beresiko mengalami banjir pada bulan-bulan tersebut.
“Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat harus siap siaga terhadap berbagai kemungkinan terburuk jika hujan makin meningkat dan banjir longsor dapat semakin meluas di Jawa, khususnya di wilayah Jakarta dan sekitarnya,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa