KedaiPena.com – Keinginan Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan, yang lantang disuarakan saat pelantikan dinya, dinyatakan sebagai target yang ambisius dan menantang. Karena ada beberapa tantangan yang berpotensi untuk menghalangi target swasembada pangan.
Peneliti IDEAS, Muhammad Anwar menyatakan pencanangan swasembada pangan dalam lima tahun ke depan yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato perdananya adalah target yang ambisius dan menantang.
Karena, lanjutnya, saat ini beberapa komoditas pangan strategis seperti beras, gandum, gulai, kedelai, hingga bawang putih masih diimpor dalam jumlah signifikan.
“Untuk beras yang merupakan bahan makanan pokok rakyat Indonesia, sepanjang tahun 2024 ini indonesia berencana mengimpor beras hingga 5,17 Juta Ton. Realisasi impor Januari-April 2024 telah mencapai 1,77 juta ton dan rencana impor Mei-Desember 2024 sebesar 3,40 juta ton. Dan jika terealisasi juga akan mengantarkan Indonesia menjadi negara importir beras terbesar di dunia, mengalahkan Filipina yang rata-rata mengimpor beras di kisaran 4 juta ton setiap tahunnya,” kata Anwar, Rabu (23/10/2024).
Menurutnya, kondisi ini menunjukkan bahwa kemandirian pangan belum sepenuhnya tercapai. Dan untuk menuju swasembada, pemerintah harus mengatasi berbagai masalah struktural yang selama ini membatasi sektor pertanian nasional.
Anwar menyebutkan Indonesia saat ini masih mengalami masalah terkait produksi pangan domestik. Tantangan pertama adalah jatuhnya kapasitas produksi pangan domestik.
“Ada beberapa faktor yang menyebabkan produksi pangan jatuh seperti banyak petani menggunakan metode pertanian tradisional yang kurang efisien, dan akses terhadap teknologi modern serta input pertanian berkualitas sering kali terbatas. Ini mengakibatkan produktivitas lahan yang tidak optimal dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional,” ungkapnya.
Tantanga kedua adalah terkait keterbatasan lahan pertanian. Misalnya, pada kasus beras, isu paling mendasar pada jatuhnya produksi pangan nasional terutama beras saat ini adalah alih fungsi lahan sawah yang terus terjadi secara masif.
“Meski telah memiliki UU No. 41/2009 tentang Perlindungan LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan), namun alih fungsi lahan sawah masih terus terjadi. Alih fungsi lahan adalah ancaman serius bagi sektor pertanian. Salah satu penyebab signifikan adalah konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian, terutama untuk proyek pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, kawasan perumahan, dan komersial,” ungkapnya lagi.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh IDEAS, alih fungsi lahan sawah yang terus terjadi ini dikonfirmasi oleh luas lahan panen padi nasional yang konsisten menurun dalam 6 tahun terakhir.
Bila di 2018 luas lahan panen padi di Indonesia masih mencapai 11,38 juta hektar, maka di 2023 hanya tersisa 10,21 juta hektar, turun sebesar 10,28 persen selama 6 tahun terakhir. Luas lahan panen padi yang turun secara konsisten mengindikasikan bahwa ada sawah yang secara permanen tidak lagi menghasilkan panen karena mengalami alih fungsi lahan.
Indikasi ini kuat terlihat pada penetapan lahan sawah yang dilindungi (LSD) pada 2021. Di 8 provinsi sentra beras yaitu Sumbar, Banten, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali dan NTB, luas LBS 2019 adalah 3,97 juta hektar. Namun pada 2021, hanya 3,84 juta hektar sawah saja di 8 provinsi tersebut yang dapat ditetapkan menjadi LSD. Dengan kata lain, 136 ribu hektar sawah di 8 provinsi sentra beras tersebut diduga kuat telah mengalami konversi di sepanjang 2019-2021.
Tantangan ketiga adalah infrastruktur yang mendukung distribusi hasil pertanian masih kurang memadai. Banyak daerah penghasil pangan, terutama di luar Jawa, mengalami kesulitan dalam mengirimkan hasil panen ke pasar akibat buruknya kondisi jalan, fasilitas penyimpanan yang terbatas, serta ketidakmampuan untuk mengelola logistik dengan efisien.
“Ketidakstabilan rantai pasok ini menyebabkan ketidakseimbangan pasokan dan harga di pasar domestik, yang sering kali menjadi alasan pemerintah untuk membuka keran impor demi menjaga stabilitas harga. Dalam upaya mencapai swasembada pangan, perbaikan infrastruktur distribusi menjadi kunci agar hasil pertanian dapat diakses dengan lebih cepat dan murah,” kata Anwar lebih lanjut.
Tantangan keempat adalah akses petani terhadap modal juga menjadi tantangan. Banyak petani kecil kesulitan mendapatkan pendanaan yang cukup untuk meningkatkan produksi mereka.
“Tanpa akses terhadap kredit yang mudah dan murah, para petani sulit melakukan investasi dalam peralatan atau teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa