KedaiPena.com – Dengan adanya desakan publik yang berujung pada putusan MK, dapat disimpulkan bahwa Omnibus Law Cipta Kerja memiliki kelemahan signifikan, terutama dalam hal regulasi ketenagakerjaan yang dinilai merugikan hak-hak pekerja.
Peneliti IDEAS, Muhammad Anwar menyatakan kritik yang disampaikan pada implementasi Omnibus Law Cipta Kerja, mencakup fleksibilitas tenaga kerja yang dianggap berlebihan, pengurangan jaminan kerja, dan aturan yang lebih condong kepada kepentingan pengusaha.
“Keputusan MK bukan hanya mempertegas perlunya pemisahan dan penanganan khusus untuk isu-isu ketenagakerjaan, tetapi juga menunjukkan bahwa penyusunan undang-undang dengan model omnibus perlu dievaluasi kembali agar lebih inklusif, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat,” kata Anwar, Selasa (5/11/2024).
Ia menyatakan dalam pembentukan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru, ada beberapa aspek penting yang harus diakomodasi agar undang-undang tersebut benar-benar melindungi hak-hak pekerja dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Pertama, perlindungan hak-hak dasar pekerja harus menjadi prioritas utama. Ini mencakup jaminan terhadap upah yang layak, perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak adil, dan jaminan sosial yang memadai.
“Regulasi baru harus memastikan bahwa pekerja memiliki kepastian hukum dalam hubungan kerja mereka, sehingga tidak merasa rentan terhadap eksploitasi atau pemutusan kontrak sepihak,” ucapnya.
Kedua, UU Ketenagakerjaan yang baru perlu menyesuaikan diri dengan dinamika modern dunia kerja. Ini termasuk pengaturan yang lebih fleksibel tetapi tetap adil mengenai pola kerja baru, seperti kerja jarak jauh dan kerja kontrak yang meningkat akibat perkembangan teknologi.
“UU ini juga harus mengakomodasi perlindungan untuk pekerja di sektor informal dan gig economy yang sering kali luput dari perhatian dalam regulasi sebelumnya,” ucapnya lagi.
Sektor gig, yang mencakup pekerja lepas, pengemudi ojek daring, kurir, hingga pekerja di platform digital lainnya, telah berkembang pesat seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan pola kerja.
Namun, ketiadaan regulasi yang memadai membuat pekerja gig sering kali terabaikan dalam hal perlindungan hak-hak dasar mereka. Akibatnya, banyak dari mereka yang menghadapi ketidakpastian dalam pengupahan, minimnya jaminan sosial, dan perlindungan kerja yang lemah.
“Ketiga, partisipasi dan dialog sosial perlu dipertegas sebagai prinsip dasar dalam perumusan kebijakan tenaga kerja. Ini berarti memberi ruang yang signifikan bagi serikat pekerja dan asosiasi pekerja dalam proses perundingan kebijakan ketenagakerjaan,” kata Anwar.
Minimnya partisipasi publik dalam penyusunan UU Cipta Kerja telah meninggalkan luka bagi para pekerja dan masyarakat luas, yang merasa aspirasinya diabaikan dalam regulasi yang sangat berdampak pada kehidupan mereka.
“DPR memiliki kewajiban moral untuk “membayar hutang” atas proses yang kurang inklusif tersebut dengan menyusun undang-undang ketenagakerjaan yang lebih terbuka dan berkeadilan,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa DPR perlu benar-benar membuka ruang partisipasi bagi pekerja, serikat pekerja, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya untuk terlibat dalam merancang undang-undang yang adil dan responsif terhadap kebutuhan pekerja.
“Dengan melibatkan suara-suara yang selama ini terpinggirkan, DPR dapat memastikan bahwa regulasi yang dihasilkan tidak hanya mengakomodasi kebutuhan dunia usaha, tetapi juga melindungi hak-hak pekerja secara substansial,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa