Artikel ini ditulis oleh Alkautsar, Demisioner Ketua LMND DKI
Selama dua bulan terakhir Partai Demokrat mendominasi wacana publik. Partai yang dipimpin oleh anak muda itu telah dibuat kisruh oleh para antagonis (baca: pembegal) demokrasi.
Saat ini, kisruh Partai Demokrat untuk sementara telah berakhir. Pemerintah melalui Menteri Hukum dan Ham (Menkumham) menolak disahkannya kepengurusan Kongres Luar Biasa abal-abal Partai Demokrat.
Sepengetahuan saya, Partai Demokrat dalam satu tahun terakhir ini fokus dalam menangani pandemi, silaturahmi bersama rakyat dan para tokoh. Tetapi niat baik itu malah diinterupsi.
Peristiwa yang telah terjadi tidak boleh dibiarkan berulang, karena akan mengganggu konsensus bangsa dan negara tentang perwujudan persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial.
Pencapaian Partai Demokrat dalam memenangkan dialektika pertarungan dari para antagonis (baca: pembegal) demokrasi tidak terlepas dari tindakan tepat dan terukur oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang menjadi faktor determinan sebagai komandan peperangan untuk merespon setiap langkah menipulatif (baca: kebohongan).
Kemenangan ini membuktikan kematangan AHY sebagai pemimpin yang menjaga kedaulatan partainya dan demokrasi Indonesia yang dibangun dengan airmata, darah, dan nyawa.
Oleh karena itu, motede yang berlawanan dengan ketentuan demokrasi harus dilawan dengan keras, sehormat-hormatnya dan sehebat-hebatnya. Selain itu, banyaknya elemen pro demokrasi yang bersolidaritas dapat dijadikan indikator kehebatan AHY sebagai pemimpin.
Indonesia yang saat ini sedang diterpa krisis multidimensi membutuhkan kepemimpinan politik agar ada aksi bersama, dan kerjasama, seperti yang diutarakan oleh Yuval Harari, AHY bersama Partai Demokrat sudah melakukan itu dalam mengupayakan pemulihan pandemi, ekonomi, sosial dan politik.
Secara kontekstual juga dapat dilihat saat menghadapi para antagonis (baca: pembegal) demokrasi, dimana AHY mampu menjaga soliditas kader dari pusat sampai daerah.
Sebagai partai politik yang lahir dalam masa refotmasi, Partai Demokrat ingin menciptakan demokrasi yang inklusif. Hal ini tercermin saat saat RUU Pemilu masuk dalam prolegnas.
Partai Demokrat menawarkan agar presidential threshold atau ambang batas pencalonan presidential menjadi 0 persen. Alasannya, agar melahirkan calon yang beragam untuk membebaskan rakyat dalam memilih pemimpinnya.
Selain itu, Partai Demokrat juga mengusulkan agar pilkada serentak dilaksanakan tahun 2022-2023, mengingat jika dilaksanakan 2024 berpotensi terjadi praktek otoritarianisme oleh pemerintahan yang jelas bertentangan dengan semangat demokrasi.
Sayangnya keinginan tersebut tidak tercapai dikarenakan Partai Demokrat minoritas dalam parlemen.
Di lain sisi, kedudukan Partai Demokrat sebagai oposisi pemerintah selalu memberikan kritik bersamaan dengan jalan keluarnya. Sampelnya bisa dilihat saat menentang keras pembahasan RUU omnibus law di saat pandemi. AHY menginstruksikan agar fraksi demokrat walk out dari pembahasan untuk fokus membantu rakyat keluar dari jeratan pandemi.
Apa yang dilakukan oleh AHY dan Partai Demokrat dalam merespon situasi mengingatkan kita akan pepatah yang berbunyi “pelaut ulung tidak lahir dari ombak yang tenang, melainkan terbiasa menghadapi badai”.
Memang benar, peristiwa yang dialami oleh AHY dan Partai Demokrat juga dialami oleh partai-partai lainnya selama masa reformasi ini. Tetapi kadar permasalahannya lebih kompleks, pasalnya individu kekuasaan terlibat secara aktif dan langsung walaupun bertentangan dengan aturan internal partai serta berlaku irrasional dalam berdemokrasi.
AHY dan Partai Demokrat sudah meneguhkan teladan kepemimpinan dan menyelamatkan demokrasi. Anak muda dan orang baik tidak boleh dibiarkan berjuang sendiri. Kita harus ikut memperpanjang barisan perjuangan, terutama saat AHY melakukan perjalanan keliling nusantara.
Mari rapatkan barisan. Bersama kita kuat, bersatu kita bangkit.
[***]