Dunia  pendidikan  kita  sudah  melenceng  jauh  dari  orbit  hakikat  pendidikan sesungguhnya.  Â
Menteri  silih  berganti,  namun  pusat  perhatiannya sama: administrasi pendidikan (anggaran, bantuan operasional sekolah, rancang bangunkurikulum, standar formal kompetensi guru, ujian nasional dan sejenisnya).
Esensi  pendidikan  nyaris  tak  tersentuh.  Paling  jauh,  yang  dikembangkan  dalam sistem  persekolahan  kita  hanyalah  “pengajaran† (onderwijs),  yakni  pemberian materi  berkaitan  dengan pengetahuan  dan  keterampilan.
Mata  pelajaran  sarat muatan  kognitif.  Sukses  pendidikan  diukur  oleh  pencapaian  anak  dalam  bidang penalaran seperti itu, seperti tercermin dalam muatan ujian nasional.
Tak heran, banyak orang tua menambah jam pelajaran anaknya dengan mengikuti bargai kursus dalam/luar sekolah.
Bias  pengajaran  membuat  dunia  pendidikan  pada  umumnya mengabaikan  tugas mendidik:  memberikan  tuntunan  dalam  hidup tumbuhnya  anak-anak. Â
Suhu pendidikan  kita,  Ki  Hadjar  Dewantara,  mengingatkan  bahwa  “pendidikan†(opvoeding)  merupakan sesuatu yang lebih luas dan esensial daripada pengajaran.
Pendidikan bermaksud “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu,  agar  mereka  sebagai  manusia  dan  sebagai  anggota  masyarakat  dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-setingginyaâ€.
Singkat kata, pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari dan mengembangkan kehidupan sepanjang hidup, yang diperantarai sekaligus  membentuk  kebudayaan.  Dalam  proses  belajar  memanusia  dan membudaya itu, tugas guru bukanlah memaksakan sesuatu pada anak, melainkan menuntun  mengeluarkan  potensi-potensi  bawaan  anak  agar  bertumbuh.
Darisitulah  muncul  istilah  education  (Latin:  educare;  ex-ducare)  yang  berarti mengeluarkan  dan  menuntun,  dalam  arti  mengaktifkan  kekuatan  terpendam bawaan sang anak.
Apa  yang  harus  diaktifkan  adalah  budi-pekerti.  Budi  mengandung  arti  “pikiran, perasaan dan kemauanâ€; pekerti artinya “tenagaâ€. Alhasil, pendidikan budi-pekerti mengupayakan  bersatunya  pikiran,  perasaan  dan  tekad-kemauan  manusia  yang mendorong kekuatan tenaga yang dapat malahirkan penciptaan dan perbuatan yangbaik, benar dan indah.
Dengan  pengembangan  “budi-pekerti† anak  didik  diharapkan  berdiri  sebagai manusia  merdeka.  Kemerdekaan  yang  harus  ditumbuhkan  dalam  pendidikan mengandung tiga sifat: berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain dan dapat mengatur diri sendiri. Itu sebabnya mengapa di banyak negara, orang tua dilarang mengantar anaknya ke sekolah.
Sampai  di  sini,  tampak  jelas  betapa  terbelakangnya  dunia  pendidikan  kita. Keterbelakangan sesungguhnya bukanlah ketika dibandingkan dengan pencapaian bangsa-banga  lain;  karena  setiap  bangsa  punya  sejarah,  tantangan  dan  ukuran nilainya masing-masing; melainkan keterbelakangan dari hakikat pendidikan yang dikehendaki.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pendidikan sebagai proses belajar menjadi manusia berkebudayaan yang merdeka itu  berorientasi  ganda:  memahami   diri  sendiri  dan  memahami  lingkungannya. Kedalam, pendidikan harus memberi wahana kepada peserta didik untuk mengenali siapa  dirinya  sebagai  “perwujudan  khusus† dari  alam.
Proses  pendidikan  harus membantu  peserta  didik  menemukenali  kekhasan  potensi  dirinya  sekaligus kemampuan  untuk  menempatkan  keistimewaan  diri  itu  dalam  konteks keseimbangan dan keberlangsungan jagad besar.
Ahli-ahli  pendidikan  berhaluan  merdeka,  mulai  dari  Maria  Montessori,  Helen Parkhurst,  Rabindranath  Tagore,  Ki  Hadjar  Dewantara  hingga  Paulo  Freire mengingatkan  fungsi  pendidikan  sebagai  usaha  mencerdaskan  jiwa  kanak-kanak menurut kodratnya masing-masing. Seturut dengan itu,  kerja  mendidik bukanlah mengajar, melainkan menuntun.
Karena potensi anak berbeda-beda, maka proses pendidikan  jangan sampai  menghilangkan kodrat  individualitas seseorang karena terdidik bersama-sama yang lain. Harus lebih banyak ruang untuk menuntun anak secara individual, jangan hanya berbarengan secara klasikal.
Sedangkan  keluar,  pendidikan  harus  memberi  wahana  kepada  anak  didik  untuk mengenali  dan  mengembangkan  kebudayaan.  Kebudayaan  sebagai  sistem  nilai, sistem  pengetahuan,  dan  sistem  prilaku  ini  secara  keseluruhan  membentuk lingkungan  sosial  yang  dapat  menentukan  apakah  disposisi  karakter  seseorang berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk.
Bibit  unggul  individualitas  harus  tumbuh  di  atas  tanah  sosialitas  Pancasila  yang subur. Maka  dari  itu,  pengembangan “kecerdasan  kewargaan† berbasis  Pancasila bukan sekadar ornamen, melainkan substansi penting pembelajaran.
Itu sebabnya, muatan  ujian  nasional  yang  dirumuskan  kementerian  semestinya  (pun  secara historis) lebih menekankan subjek-subjek yang dapat memperkuat integrasi nasional dan karakter bangsa, seperti sejarah, geografi, bahasa, dan ideologi bangsa.
Adapun bahan  uji  bagi  mata  pelajaran  lainnnya  bisa  dirumuskan  oleh  asosiasi-asosiasi pengajar dalam mata pelajaran yang sama.
Prioritaskan Pendidikan Dasar
Ibarat pohon, akar merupakan titik tumpu ketahanan bertumbuh. Demikian juga halnya dalam proses tumbuh hidupnya manusia. Solusi atas keterbelakangan hasil pendidikan kita harus dimulai dengan memperkuat pendidikan dasar.
Sesuai dengan namanya, pendidikan dasar harus benar-benar memberikan modal dasar dalam proses belajar menjadi manusia seutuhnya. Pendidikan sebagai proses kebudayaan menghendaki agar  proses  belajar-mengajar  tidak  hanya  berorientasi pada pengembangan kemampuan kognitif, melainkan juga kemampuan afektif dan konatif.
Pertama-tama, kurikulum pendidikan dasar harus memberi perhatian pada olah pikir lewat pembelajaran membaca, menghitung, menutur, mendengar, menulis, dan meneliti dalam kerangka budi pekerti. Pelajaran membaca lebih dari sekadar belajar melek-huruf, atau sekadar membaca buku  pelajaran  yang  diwajibkan. Â
Pelajaran  membaca  harus  menjadi kecapakan fungsional yang dibiasakan (reading habit) sejak pendidikan dasar. Kecakapan dan kebiasaan  membaca  sejak  dini  akan  memudahkan  anak-anak  untuk  menjelajahi dunia ilmu pengetahuan melampaui batas-batas pelajaran sekolah.
Budaya baca kian penting dihadapkan pada perluasan terpaan media digital dengan muatan pesan yang serba ringkas dan instan.  Tanpa tradisi membaca yang kuat akan  sulit  bagi generasi  baru  untuk  memahami  dan  mengembangkan  penalaran panjang seperti pengetahuan-pengetahuan naratif (filsafat, ideologi, sejarah, agama, sastra dan lain-lain). Â
Padahal, pengetahuan naratif merupakan sumber penemuan diri dan pembentukan karakter.
Oleh karena itu, paling tidak satu hari dalam seminggu,  harus disediakan wahana bagi anak-anak untuk membaca atas pilihannya sendiri. Sekolah hanya menyediakan bahan-bahan  bacaan  yang  sejalan dengan  misi  pendidikan  budi-pekerti. Â
Setelah membaca, anak-anak juga harus dilatih untuk menuturkan apa yang mereka tangkap dari bahan bacaan. Latihan menutur bukan sekadar membantu mengingat, tetapijuga  melatih  kepercayaan  diri,  serta pembiasaan  saling  mendengar  dan saling mengapresiasi sesama peserta didik.
Selain membaca, siswa harus diberikan kecapakan menghitung. Pada enam tahun pertama pendidikan dasar, tidak perlu diberikan pelajaran matematika yang rumit. Negara, seperti  Finlandia,  dengan  prestasi  pendidikan  yang hebat  pun  mulai menghilangkan pelajaran matematika di sekolah dasar.
Pada tingkat ini, cukuplah diberikan pelajaran  aritmatik  sederhana  sebagi  dasar  kecapakan  hidup,  yang diterapkan langsung dalam praktik kehidupan. Pelajaran matematika bolehlah mulai diperkenalkan pada kelas tujuh.
Pelajaran membaca berkelindan dengan pelajaran menulis. Pelajaran menulis tidak sekadar diletakkan di pojok mata pelajaran bahasa, melainkan subjek tersendiri yang terintegrasi dengan seluruh mata pelajaran. Kecakapan menulis merupakan bekal dasar bagi asah kemampuan logika, sistematika, meneliti dan mencipta.
Tak heran, saat Amerika Serikat menyadari penurunan daya saing, solusi kurikulumnya justru mewajibkan pelajaran  mengarang  di  tingkat pendidikan  dasar  dan  menengah (Godzich, 1994).
Menumbuhkan hasrat menulis pada gilirannya akan mendorong semangat meneliti, baik lewat membaca ayat-ayat kitabiyah (buku), ayat-ayat kauniyah (alam semesta), ayat-ayat tarikhiyah (sejarah), dan ayat-ayat nafsiyah (diri sendiri). Di situlah, anak terdidik  agar kelebihan  dirinya tidak  menimbulkan kacau-kaos,  melainkan beres-kosmos bagi kehidupan semesta.
Kedua,  kurikulum  pendidikan  dasar  harus  menyediakan  peserta didik  suatu wahana  olah  rasa  untuk  mengasah  daya-daya  afeksi yang  dapat  memperkuat kepekaan estetik,  kehalusan  perasaan, keindahan perangai, kepekaan  empati dan solidaritas sosial, sensitivitas daya spiritualitas, ketajaman rasa keadilan, semangat kebangsaan (nasionalisme)  dan  gotong-royong.
Untuk  itu,  kurikulum  pendidikan hendaklah  memberi  perhatian  pada  pelajaran  kesenian,  moral  keagamaan, kesejarahan,  pendidikan  karakter  personal  dan  kewargaan,  wawasan  kebangsaandan kemanusiaan.
Ketiga,  kurikulum  pendidikan  juga  harus  memberi  wahana  olah  raga  untuk mengembankan ketahanan,  ketangkasan  dan  kesehatan jasmani, yang diperlukan sebagai sarana fisik untuk mengaktualisasikan segala pontensi budi-pekerti anak.
Tak kurang dari filsuf pendidikan seperti Socrates dan Plato jauh-jauh hari telah menekankan pentingnya pendidikan gimnastik (olah tubuh/fisik). Olah raga selain menawarkan  kesederhanaan  dalam  menghasilkan  hidup  sehat,  juga  dapat mengembangkan sportivitas, keriangan permainan, ketahanan mental, keberanian mengambil risiko, semangat kerjasama dan jiwa patriotisme.
Keempat,  kurikulum  pendidikan  harus  menumbuhkan  olah  karsa  yang  dapat mendorong kemauan peserta didik untuk mengembangkan kecakapan hidup dengan mengenali dan mengaktualisasikan potensi kecerdasannya masing-masing.
Orientasi  pada  pemuliaan  ragam  inteligensia  menuntut  perubahan  sistempembelajaran  dari  “sekolah  berorientasi  kelas† menuju  â€sekolah  berorientasi individuâ€.  Kurikulum  inti  dibuat  lebih  terbatas  untuk  memberi  keleluasaan  bagi siswa untuk mengambil subjek pilihan  sesuai dengan minat dan bakatnya.
Konsekuennya fungsi guru bukan sekadar mengajar, melainkan sebagai penuntununtuk  memantau  potensi  dan  kecenderungan  masing-masing  siswa;  berperan sebagai  broker  kurikulum  yang  membantu  siswa  mengembangkan  potensi  dan preferensinya;  sekaligus  menjadi  broker  yang  menghubungkan  siswa  dengan dengan komunitas yang lebih luas.
Minat dan bakat siswa harus bisa dihubungkan dengan berbagai  cerlang  budaya  dan  pusat  teladan  di  lingkungan  negara,  pasar  dan masyarakat.  Untuk  itu,  kerangka  insentif  perlu  diberikan  oleh  pemerintah  danmasyarakat  kepada  orang/institusi  yang  menyediakan  kesempatan  belajar  luar sekolah.
Alhasil,  sekolah  di  masa  depan  dituntut  untuk  lebih  menghargai  keunikan  dan otonomi  individu  serta  mengembangkan  iklim  yang  kondusif   untuk mentransformasikan  pribadi  unggul menjadi  kolektivitas  unggul,  dengan menempatkan kreativitas dan karakter di jantung kurikulum.
Pembenahan Guru
Untuk dapat mengemban tugas pendidikan seperti itu, guru juga harus diberi derajat kebebasan yang lebih besar untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya dalamproses pengajaran. Dalam kaitan ini,  pengembangan kurikulum yang dikembangkan pemerintah tidak perlu terlalu kaku dan mendetil. Harus dihindari kecenderungan ganti  menteri  ganti  kurikulum.
Sejalan  dengan  pasal  38  Undang-Undang  Sistem Pendidikan  Nasional Tahun  2003,  yang  dilakukan  pemerintah  cukuplah menggarikan  “kerangka  dasar  dan  struktur  kurikulumâ€.  Selebihnya,  berikan kebebasan  kepada  guru  untuk  berimprovisasi.  Pendidikan  sebagai  proses pemerdekaan tidak bisa dicapai, bila gurunya sendiri terbelenggu.
Pada  titik  ini,  prioritas  selanjutnya adalah peningkatan mutu  guru. Seorang juru didik memerlukan kecakapan yang lebih baik dari juru ukir. Jika seorang pengukir kayu saja wajib mempunyai pengetahuan yang mendalam dan luas tentang hakekat kayu dan teknik ukir, apa lagi juru didik yang diharapkan mampu mengukir manusia secara lahir dan batin.
Sungguh  ironis,  rekrutmen  tenaga  pendidik  saat  ini  lebih  mementingkan  aspek-aspek  formal  ijazah  dan  tingkat  pendidikan,  dengan  melupakan  kompetensi didaktik-metodiknya.
Sudah  saatnya  pesan  Undang-Undang  Sisdiknas  mengenai perlunya sekolah guru berasrama segera diwujudkan. Tak cukup bekal kesarjanaan di  berbagai  disiplin ilmu,  para  calon  pendidik  masih  harus  mendapatkan  proses penggemblengan dalam kecapakan ilmu pendidikan setidaknya selama satu tahun.
Itulah peta jalan sederhana agar dunia pendidikan benar-benar menunaikan kerja mendidik tunas-tunas harapan bangsa demi keselamatan dan kebahagiaan hidup bersama.
Oleh Yudi Latif, Penghayat Ajaran Ki Hajar Dewantara