MASALAH ketimpangan ekonomi menjadi masalah krusial yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia. Sejak era ada reformasi ketimpangan ekonomi Indonesia cenderung mengalami peningkatan.
Tampaknya masalah ini menjadi perhatian utama pemerintahan Jokowi. Meskipun hal ini tidak tercantum secara eksplisit dalan Nawacita yang menjadi visi dari pemerintahan Jokowi.
Pemerintah Jokowi bisa berbangga dan menepuk dada karena dalam dua setengah tahun berkuasa berhasil mengurangi ketimpangan ekonomi di  Indonesia. Paling tidak itu yang tergambar dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang direlese pada bulan Januari 2017 yang menyatakan bahwa ketimangan ekonomi yang ditunjukkan oleh koefisien gini (gini ratio) Indonesia mengalami menurun.
Dalam laporan BPS disebutkan Gini Ratio September 2016 turun 0,003 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2016 yang sebesar 0,397 dan turun 0,008 poin dibanding September 2016 yang sebesar 0,402. Berdasarkan daerah tempat tinggal, Gini Ratio di daerah perkotaan pada September 2016 sebesar 0,409, turun dibanding Gini Ratio Maret 2016 yang sebesar 0,410 dan turun dibanding Gini Ratio September 2015 yang sebesar 0,419.
Sedangkan Gini Ratio di daerah perdesaan pada September 2016 sebesar 0,316 turun dibanding Gini Ratio Maret 2016 yang sebesar 0,327 dan turun dibanding September 2015 yang sebesar 0,329.
Hasil survey BPS tersebut di atas merupakan gambaran sekaligus “pernyataan resmi†pemerintah Jokowi tentang keberhasilan pemerintah dalam mengatasi ketimpangan ekonomi Indonesia yang meningkat pesat sejak era reformasi dan keberhasilan pemerintah dalam mengangkat kehidupan masyarakat miskin indonesia.
Namun laporan BPS tersebut terpatahkan oleh hasil survey salah satu lembaga independen yang menyatakan bahwa kekayaan empat orang taipan Indonesia setara dengan kekayaan 100 juta penduduk miskin Indonesia.
Oxfam adalah lembaga sosial yang cukup ternama merelease pada Rabu 23 Februari 2017 bahwa Indonesia merupakan negara yang paling timpang di dunia. “Indonesia as one of the most unequal countries in the worldâ€. Indonesia adalah sebuah negara yang paling timpang di dunia.
Dalam laporan Oxfam tersebut digambarkan empat orang taipan  terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 40 % masyarakat Indonesia atau kekayaan 100 juta penduduk yang masih hidup dibawah garis kemiskinan. Oxfam mendasarkan perhitungan ini dari standar kemiskinan yang dikeluarkan World Bank.
Tentu saja Badan Pusat Statistik terpukul dengan berita ini, karena lembaga pemerintah yang paling kredibel dalam hal data dan menjadi rujukan kebijakan pembangunan ini harus mengevaluasi ulang hasil survey mereka. Tentu dunia iternasional sangat memandang laporan Oxfam tersebut. Tentu saja BPS harus mengevaluasi ulang metode survey mereka dalam mengukur ketimpangan ekonomi.
Tidak hanya itu, pemerintahan Jokowi sendiri bagaikan disambar petir. Bayangkan, pemerintah begitu membanggakan hasil kerja mereka selama dua setengah tahun terakhir dengan program membangun dari pinggiran, proyek 1 miliar per desa dan berbagai program pembangunan infrastruktur ternyata belum bisa menggeser posisi Indonesia sebagai negara paling timpang di dunia.
Kekayaan empat orang taipan setara dengan pendapatan 100 juta penduduk miskin, apakah ini yang disebut demokrasi ekonomi?
Ingat Pak Presiden, ketimpangan bukan takdir bagi 100 juta bangsa Indonesia. Penguasa yang adil bisa mengatasinya.
Oleh Salamuddin Daeng (AEPI)