SEBAGAIMANA telah kita ketahui, subsidi listrik bagi 19 juta pelanggan 900 VA telah dicabut. Alasan yang dikemukakan oleh PLN dan Kementerian ESDM, mereka ini tidak termasuk dalam daftar masyarakat miskin yang dibuat oleh Kementerian Sosial.
Oleh karena itu mereka dinyatakan sebagai masyarakat mampu oleh PLN atau Kementerian ESDM. Kalau masyarakat mampu maka tidak berhak untuk mendapatkan subsidi, oleh karena itu subsidinya harus dicabut.
Awal tahun 2016, mereka masih dikenai tarif Rp 585/kwh. Namun secara bertahap telah dicabut subsidinya dan sekarang tarifnya menjadi Rp 1352/kwh dan pada 1 Juli 2017 nanti menjadi Rp 1450 / kwh atau 248% dari tarif pada awal 2016.
Dan PLN atau Pemerintah menghemat subsidi sebesar Rp 15,44 triliun. Dengan kata lain, masyarakat pelanggan 900 VA yang sebenarnya termasuk golongan masyarakat nyaris miskin, tetapi dianggap sebagai masyarakat mampu maka mereka menyerahkan uang sebesar Rp15,44 triliun setiap tahun (apabila tarifnya tidak naik lagi) kepada PLN dan Pemerintah akibat adanya pencabutan subsidi itu.
Masalahnya adalah benarkah mereka termasuk masyarakat mampu sehingga subsidinya harus dicabut? Dan tidak adakah jalan lain agar tidak perlu mencabut subsidi tersebut?
Yang pertama adalah bahwa menjadi pelanggan listrik 900 VA itu tidak enak karena serba terbatas. Mereka mempunyai dilema, bila tidak memiliki ‘air conditioning’ di rumahnya akan mengalami hawa yang panas walaupun memakai kipas angin yang besar.
Mereka tidak bisa beristirahat maksimal di malam hari, sehingga pada waktu siang hari siang hari, mereka tidak bisa produktif secara maksimal. Bayangkan bila ini dialami oleh 19 juta keluarga. Bagaimana dengan produktivitas Indonesia.
Tetapi bila memakai AC maka listrik di rumahnya akan sering mati. AC sendiri yang paling kecil 1/2 PK telah memakan daya listrik sebesar 500 VA. Sehingga sisanya tinggal 400 VA, digunakan untuk 5 titik lampu, kulkas, kipas angin, TV, ‘rice cooker’, komputer , pompa air dan sebagainya, pasti kurang.
Listriknya sering mati karena ‘circuit breaker’-nya sering turun. Walaupun menyetrika dan mesin cucinya berjalan waktu AC dimatikan. Mereka terpaksa berlangganan 900 VA karena tidak mampu. Kalau mereka mampu lebih baik berlangganan 1300 VA agar lebih longgar, listriknya tidak sering mati.
Ada jalan lain untuk menghemat subsidi listrik, seperti yang telah dikemukakan oleh mantan Menko Maritim dan Sumber Daya DR Rizal Ramli, yaitu menghilangkan inefisiensi di PLN, menekan rugi-rugi transmisi bisa menghemat Rp6,3 triliun, penghematan dalam pembelian bahan bakar bisa menghemat Rp20 triliun, menekan biaya proyek 10 persen bisa menghemat Rp40 triliun.
Sehingga totalnya bisa menghemat Rp66,3 triliun yang jauh lebih besar dari pada mengambil uang 19 juta masyarakat pelanggan 900 VA  yang secara ekonomi termasuk masyarakat nyaris  miskin (‘near poor’). Dengan diambil uangnya sebesar Rp15,44 triliun oleh PLN atau Pemerintah, maka bisa dipastikan mereka akan menjadi masyarakat miskin.
Janganlah kita mengambil uangnya masyarakat yang nyaris miskin yang pasti akan turun menjadi masyarakat miskin, terus kita subsidikan kepada masyarakat miskin yang belum mendapat listrik yang pasti akan tetap miskin. Ini namanya subsidi silang antara masyarakat nyaris miskin dan masyarakat miskin serta akan menambah jumlah kemiskinan di Indonesia. Lalu kemana Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia?
Kalau kebijakan pencabutan subsidi ini tidak segera dikoreksi maka masyarakat akan bertanya-tanya, Pancasila yang mana yang sedang dijalankan? Apakah ada Pancasila yang lain yang berbeda dengan yang sering diperingati?
Oleh Abdulrachim K, Analis Kebijakan Publik