ENTAH apa yang ada di benak Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto saat Kamis, 8 Maret silam menyatakan niatnya mencabut ‘crumb rubber’ dari daftar negatif investasi (DNI). Kalau hasrat menteri yang juga Ketua Umum Partai Golkar ini sukses, maka sebentar lagi bakal banjir invastasi asing ke industri karet remah ke dalam negeri.
Saya mencoba berselancar di dunia maya mencari motivasi yang melatarbelakangi niat Airlangga. Sayangnya, tidak ditemukan alasan lain kecuali meningkatkan investasi. Pak menteri sama sekali tidak menyebut kapasitas industri karet kita atau daya serapnya seperti apa. Termasuk juga tidak menyinggung harga karet alam yang terus terjun beberapa tahun terakhir, sehingga membuat nasib petani kian terpuruk saja.
Bahwa kita butuh investasi untuk menggulirkan roda perekonomian dan menggenjot pertumbuhan, sudah pasti iya. Tapi itu mestinya tidak serta-merta kita jadi grasa-grusuapalagi sampai ugal-ugalan mengundang asing masuk. Soal industri ‘crumb rubber’ alias karet remah, misalnya. Jenis investasi industri ini tidak canggih-canggih amat. Teknologi yang dibutuhkan terbilang sederhana. Begitu juga modal yang diperlukan terbilang kelas ecek-ecek saja.
Inilah yang menjelaskan mengapa dari 157 perusahaan ‘crumb rubber’ yang ada, 96 di antaranya adalah penanaman modal dalam negeri (PMDN) alias milik swasta nasional. Sedangkan sisanya yang 61 perusahaan adalah penanaman modal asing (PMA) dan atau terafiliasi asing. Tapi kendati jumlah mereka lebih sedikit, kontribusi ekspornya mencapai 63,1%. Sedangkan perusahaan lokal yang 96 unit harus puas dengan 36,9% sisanya.
Data lainnya menyebutkan, total kapasitas terpasang industri karet remah nasional saat ini mencapai 5,6 juta ton. Sayangnya, ketersediaan karet alam sebagai bahan baku hanya 3,6 juta ton. Industri kita masih kekurangan pasok karet 2 juta ton. Itu sebabnya utilisasi pabrik-pabrik itu hanya berkisar 60% alias tidak efisien.
Nyaris sukses
Entah disadari atau tidak, rencana pencabutan industri karet remah dari DNI bakal memuluskan ‘grand strategy’ asing untuk menguasai industri karet nasional. China, khususnya, sangat agresif ekspansi ke negara produsen karet untuk mengamankan rantai pasokan bagi industrinya.
Asal tahu saja, konsumsi karet China sudah mencapai 4,5 juta ton, jauh melampaui Amerika Serikat yang selama ini dianggap konsumen terbesar, yaitu 1,2 juta ton.
Strategi asing untuk melakukan penetrasi besar-besaran nyaris sukses saat Paket Kebijakan Ekonomi ke-10 digulirkan, 11 Februari 2016 silam. Lewat Paket Kebijakan Ekonomi ke-10 itu, Pemerintah menganulir Perpres nomor 39/2014 tentang DNI yang di antaranya masih mencantumkan ‘crumb rubber’. Namun, untungnya beleid tadi tidak lahir sendiri. Dia membawa ‘adik kembar’ berupa Perpres nomor 44/2016 dan Permen Perindustrian nomor 09/M-IND/PER/3/2017.
Intinya, berdasarkan dua ketentuan itu pembukaan industri ini kepada asing disertai sejumlah catatan. Di antaranya harus terintegrasi dengan pengembangan kebun karet sendiri yang mampu memasok sekurangnya 20% dari kebutuhan, dan 80% bahan baku sisanya harus dipenuhi melalui kemitraan. Syarat lainnya, dari 80% kemitraan tadi, sedikitnya 20% di antaranya harus dalam bentuk inti-plasma.
Sungguh ciamik semangat yang ada dalam Perpres 44/2016. Nuansa melindungi industri lokal nyaris tak tercium di sini. Yang ada justru program penambahan produksi karet alam lewat penambahan lahan perkebunan. Spirit lain yang ditonjolkan adalah, adanya upaya mengangkat petani lokal dalam produksi dan kemitraan, yang ujung-ujungnya diharapkan kesejahteraannya pun bakal naik.
Perpres 44/2016 ini akhirnya menjadi palang pintu yang menghalangi asing menyerbu. Tapi asing tidak kekurangan akal. Maka dilancarkanlah jurus lain, yaitu mengakuisisi perusahaan milik PMDN dan PMA oleh investor dari China dan Thailand.
Sampai di sini niat Airlangga membuka industri karet remahbagi asing memang belum ‘clear’. Kalau semata-mata ingin menggenjot investasi, ada yang lebih pas. Yaitu industri karet di sisi hilir yang menghasilkan barang jadi. Jika ini dilakukan, maka daya serap industri hilir pasti bisa didongkrak jadi lebih baik daripada 630.000 ton saat ini.
Kecilnya daya serap industri hilir karet disebabkan jumlah perusahaan yang ada memang belum banyak. Ini disebabkan teknologi yang digunakan lebih canggih dibandingkan sekadar memroduksi karet remah. Selain itu, tentu aja, modal yang dibutuhkan juga lebih besar. Mereka antara lain memproduksi ban mobil, vulkanisir ban, sarung tangan, alas kaki, karpet, barang-barang karet, dan benang karet.
‘Bagi tugas’
Kenapa Pemerintah tidak mengarahkan perhatian di sini? Dengan begitu ada semacam ‘pembagian tugas’ antara pelaku lokal dan investor asing. Buat remah karet yang teknologi dan modalnya tidak tinggi, biarlah diurus produsen lokal. Sedangkan untuk industri hilir karet yang teknologinya lebih canggih dan rakus kapital, jadi bagian investor asing.
Membuka industri ‘crumb rubber’ yang saat ini sudah sesak dengan para pemain yang ada, hanya akan membuat kian terjun utilisasi kapasitas. Artinya, tingkat inefisiensi makin tinggi. Biaya produksi per ‘unit cost’ bakal melonjak. Celakanya, kenaikan biaya tersebut tidak bisa serta-merta dikompensasi dengan menaikkan harga ekspor. Pasalnya, harga ditentukan oleh pasar internasional.
Sayangnya, sebagian besar birokrat kita sering menggampangkan persoalan. Mereka beranggapan dengan membuka industr ‘crumb rubber’ bagi asing seluas-luasnya, maka pengusaha nasional akan dipaksa berkompetisi melawan asing. Di sinilah kelirunya para birokrat kita. Tanpa bersaing dengan asing saja, produsen karet remah lokal sudah babak-belur akibat rendahnya utilisasi kapasitas terpasang karena bahan baku yang amat terbatas. Bisa dibayangkan kalau jumlah pemain ditambah, apalagi asing, tentu akan kian berdarah-darah.
Birokrat kita juga mestinya paham, jika asing yang dominan sebagian besar nilai tambah industri karet tadi akan direpatriasi ke negeri asalnya. Sedangkan tenaga kerja yang terserap juga tidak akan banyak. Lha wong yang sekarang aja banyak yang ‘idle’ karena kurangnya bahan baku. Penerimaan perpajakan? Kita lihat saja tambahan apa yang bisa diperoleh dari industri yang kapasitas terpasangnya makin melorot. Sedangkan devisa ekspor yang dibangga-banggakan, sudah pasti wujudnya ada di negeri asing juga. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI) hanya kebagian mencatat saja.
Sampai akhir 2017, total industri ‘crumb rubber’ tercatat 3,629 juta ton. Dari jumlah itu, yang diserap industri hilir karet hanya sekitar 630.000 ton. Sisanya yang 3,226 juta ton habis diekspor dengan devisa yang dihasilkan sebesar US$5,2 miliar. Angka ini naik 61,2% ketimbang tahun sebelumnya. US$5,2 miliar itu lumayan banyak, lho.
Mungkin pak Menteri berasumsi, kalau industri karet remah lebih banyak asingnya, maka pembelian bahan olah karet (bokar) petani bakal meningkat. Maaf ya, sama sekali tidak ada jaminan ini terjadi. Yang ada, mungkin justru sebaliknya. Lonjakan biaya produksi akibat makin banyaknya pemain, tidak serta-merta bisa dimasukkan ke harga ekspor.
Pada titik ini, pabrikan terpaksa akan menurunkan harga pembelian Bokar petani. Jika sekarang komposisinya masih sekitar 85% dari FOB SIR, bukan mustahil pabrikan bakal menurunkan jadi 80% atau lebih rendah lagi.
Jadi, pak menteri, sebaiknya niat anda itu dikaji lagi dengan benar-benar cermat. Ngeri membayangkan yang terjadi jika rencana tersebut melenggang. Pelaku lokal dipastikan bergelimpangan. Bukan hanya itu, asumsi mendongkrak pendapatan petani juga cuma jadi ilusi. Jangan karena kebijakan tak cermat malah jadi kiamat.
Lain halnya jika memang ini yang dikehendaki Pemerintah. Tapi, ‘mosok’ iya sih Pemerintah mau ‘jahat’ kepada rakyatnya sendiri dengan cara seperti itu?
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)