Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan ada 3,3 juta hektar lahan sawit berada di dalam kawasan hutan.
Luas lahan ilegal yang sangat besar tersebut pasti sudah berlangsung sangat lama, dan terkesan ada pembiaran dari pemerintah.
Pemerintah seharusnya segera menindak pengusaha-pengusaha nakal tersebut.
Tetapi, bukannya menindak, pernyataan pemerintah malah sebaliknya, terkesan sangat arogan, bermental tirani seperti di masa kolonial.
Pemerintah mengatakan akan “memutihkan” kebun sawit ilegal yang menyerobot kawasan hutan tersebut.
Artinya, para kriminal dan penjarah kawasan hutan tersebut bukannya dihukum, tapi malah mau diberi hadiah, dengan melegalkan tindakan kriminalnya yang merugikan keuangan negara, merugikan perekonomian negara, dan merusak lingkungan, asalkan bayar denda administratif dan menyetor pajak. Pemerintah berdalih, sudah sesuai Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja.
Pernyataan dan logika pemerintah ini sangat tidak normal. Bagaimana bisa, sebuah tindak pidana diganjar dengan hadiah?
Pemerintah tidak bisa “memutihkan” perkebunan sawit ilegal di kawasan hutan. Ada beberapa alasan untuk itu.
Pertama, Pasal 110A hanya berlaku bagi mereka yang sudah mempunyai Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan. Sedangkan Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan pasti bukan untuk perkebunan sawit. Artinya, perkebunan sawit di dalam kawasan hutan pasti tidak mempunyai Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan, sehingga Pasal 110A tidak berlaku bagi mereka.
Kedua, Penggunaan Kawasan Hutan tidak boleh mengubah fungsi pokok Kawasan Hutan (pasal 38, ayat (2)). Sehingga Pasal 110B UU Cipta Kerja tidak bisa dijadikan alasan untuk memberi Perizinan Berusaha kepada pengusaha sawit, dengan mengubah fungsi pokok kawasan hutan menjadi perkebunan.
Pasal 105, huruf a, UU Cipta Kerja mengatakan, setiap Pejabat yang menerbitkan Perizinan Berusaha di dalam Kawasan Hutan dan/ atau Perizinan Berusaha terkait penggunaan Kawasan Hutan di dalam Kawasan Hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun, serta denda paling sedikit satu miliar rupiah dan paling banyak sepuluh miliar rupiah.
Artinya, pejabat yang memberi Perizinan Berusaha perkebunan sawit di dalam kawasan hutan dapat pidana seperti dimaksud pasal ini.
Ketiga, penggunaan Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha, atau penggunaan Perizinan Berusaha yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan, termasuk kategori Perusakan Hutan (Pasal 1, butir 3).
Artinya, perkebunan sawit di kawasan hutan tanpa ada Perizinan Berusaha, termasuk Perusakan Hutan.
Keempat, setiap orang yang mengerjakan, menggunakan dan/atau menduduki Kawasan Hutan secara tidak sah (Pasal 50 ayat (2), huruf a), dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp7,5 miliar.
Perkebunan sawit di kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha masuk kategori ini.
Kelima, Pasal 110A dan Pasal 110B tidak bisa menghilangkan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara seperti dimaksud UU tentang Tindak Pidana Korupsi.
Surya Darmadi, bos Duta Palma Group, divonis 15 tahun penjara (ditambah denda), karena terbukti menggunakan kawasan hutan secara ilegal untuk perkebunan sawit. Adapun luas lahan ilegal tersebut hanya 37.095 hektar, sangat kecil kalau dibandingkan dengan 3,3 juta hektar lahan ilegal yang mau diputihkan pemerintah.
Vonis 15 tahun penjara kepada Surya Darmadi malah mendapat kritik dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Menurut Walhi, hukuman tersebut terlalu ringan! Karena waktu untuk memulihkan kerusakan lingkungan akibat perkebunan sawit ilegal di kawasan hutan tersebut akan lebih lama dari vonisnya.
Selain itu, Surya Darmadi juga didakwa dengan tindak pidana pencucian uang puluhan triliun rupiah.
Artinya, kasus Surya Darmadi sudah menjadi fakta hukum, bahwa penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit secara ilegal merupakan tindak pidana, sehingga tidak bisa diputihkan atau dilegalkan.
Pejabat yang melegalkan perkebunan sawit di kawasan hutan dapat didakwa ikut melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
[***]