Artikel ini ditulis oleh KH. Dr. Iqbal Kliwo, Alumni Gontor dan Al Azhar Kairo, sekarang tinggal di Kuala Lumpur.
Problematika bangsa hari ini sangat parah yang di ibaratkan sebagai penjajahan yang paling susah sebab dijajah oleh bangsa sendiri. Parahnya situasi berbangsa dan bernegara ini terlihat jelas pada dua aspek utama dan besar.
Pertama, pembajakan konstitusi.
Aspek kerusakan sistim bernegara yang keluar jauh dari rel dan aturan konstitusi. Sehingga mengangkangi asas asas dan prinsip demokrasi yang bersumber dari Pancasila dan UUD NRI 45 sebagai dasar negara.
Sehingga lembaga lembaga tinggi negara seperti DPR-RI, MPR-RI dan MK-RI serta lembaga lainnya seperti lembaga kehakiman dan penegakan hukum lainnya telah beralih status dan fungsi menjadi benteng pertahanan kekuasaan oligarki.
Digunakan sebagai senjata dan amunisi menumpas segala reaksi berupa aksi, kritik, opini dari masyarakat termasuk tokoh bangsa, tokoh agama, aktivis yang berbeda dari keinginan oligarki kekuasaan dianggap menganggu dan menghalangi sehingga perlu ditumpas dengan segala cara, termasuk rekayasa hukum.
Apa yang disebut oleh Dr. Rizal Ramli sebagai demokrasi kriminal, sebuah sentilan.
Target dari pembajakan konstitusi ini adalah untuk melanggengkan dan mempertahankan kekuasaan atau status quo.
Serta melegalkan semua kebijakan yang melanggar ruh dan semangat serta ajaran Pancasila. Jelas merugikan bagi rakyat dan bangsa. Sebaliknya menguntungkan kelompok kekuasaan.
Demi mempertahankan hegemoni mereka atas konstitusi melalui koalisi parpol yang sebagian besar pemimpinnya tersandera oleh oligarki ekonomi, akan terus melakukan pembajakan konstitusi agar tetap berlanjut seiring keperluan dan kepentingan oligarki.
Maka password atau kata kunci untuk agenda tersebut adalah persyaratan pencapresan melalui ambang batas PT 20 persen. Siapapun pemimpin terpilih akan tersandera oleh oligarki politik yang disokong oleh oligarki ekonomi.
Kedua. Kebijakan pemerintah.
Jika kerusakan berupa pembajakan konstitusi adalah alat untuk pembenaran dan legalitas, maka kerusakan pada kebijakan merupakan sasaran dan objektif untuk oligarki (sekelompok orang yang berkuasa secara politik dan ekonomi) dalam usaha menguasai semaksimal mungkin semua aset negara dan sumber daya alam bangsa.
Hal ini yang menjelaskan kenapa utang luar negeri Pemerintah Indonesia terus membengkak dan menggunung. Serta kebijakan kenaikan dan perluasan sumber pajak atas rakyat, disatu sisi melalui undang-undang dan peraturan pengusaha besar mendapat berbagai keringanan dan keistimewaan.
Terbukti rakyat semakin menderita jumlah kemiskinan bertambah, sementara para pejabat dan kelompoknya serta pengusaha semakin kaya, walaupun dalam keadaan resesi pandemi kekayaan mereka meningkat pesat.
Dari dua bentuk kerusakan bernegara diatas, maka harus difahami dan disadari bahwa pemimpin yang menjadi pilihan utama bukanlah yang sekedar dapat menyelesaikan kerusakan pada kebijakan pemerintah walau memiliki jejak langkah untuk itu. Tetapi sebaliknya adalah pemimpin yang dapat membuat perubahan atas pembajakan konstitusi yang berlaku saat ini.
Ciri-cirinya harus jelas sejak awal dan bahkan pada rekam jejak langkah, konsistensi yang tinggi dalam usaha membenahi bangsa baik dari dalam maupun dari luar pemerintahanserta memiliki keberanian dan prioritas untuk menata ulang sistim demokrasi pada alur konstitusi. Dan ini hanya terlihat jelas pada sosok tokoh bangsa Dr. Rizal Ramli.
Maka perlu sekali adanya polling elektabilitas akademik untuk membantu rakyat mendapatkan sosok calon pemimpin bangsa yang ideal dari segala aspek. Apalagi jika perubahan politik itu berlaku secara cepat, maka hanya terlihat Dr. Rizal Ramli yang mampu tampil sebagai pemimpin untuk mengatasi segala situasi kritis dan krisis.
[***]