KedaiPena.Com – Ketegangan yang telah terjadi berhari-hari antara pemerintah sipil dan militer, berujung penangkapan pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi .
Pemimpin Myanmar itu sendiri ditangkap dan ditahan dalam sebuah penggerebekan yang dilakukan pihak militer pada Senin (1/2/2021) dini hari waktu setempat.
Kabar tersebut dibenarkan oleh Juru bicara Partai National League for Democracy (NLD) Myo Nyunt melalui sambungan telepon kepada Reuters.
“Saya ingin memberitahu orang-orang kami untuk tidak menanggapi dengan gegabah dan saya ingin mereka bertindak sesuai dengan hukum,” ungkap dia seraya menambahkan bahwa dia juga diperkirakan akan ditahan.
Diketahui, Aung San Suu Kyi meraih kemenangan gemilang dalam pemilu 8 November, pemilihan yang dianggap bebas dan adil oleh pengamat internasional sejak berakhirnya kekuasaan militer langsung pada tahun 2011.
Namun demikian, kelompok militer menilai terjadi kecurangan pemilih yang meluas meski sudah dibantah oleh komisi pemilihan.
Hal ini bahkan telah menyebabkan konfrontasi langsung antara pemerintah sipil dan militer.
Panglima Tertinggi, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, mengatakan kepada personel militer pada hari Rabu (27/1/2021), bahwa konstitusi harus dicabut jika tidak dipatuhi.
Bahkan, ia mengutip contoh sebelumnya ketika piagam yang telah dihapuskan di Myanmar.
Tidak hanya itu, seorang diplomat Barat di Yangon mengatakan informasi tentang situasi itu sulit untuk diverifikasi karena
“Tidak banyak orang yang berbicara dengan salah satu pihak” merujuk pada tentara, tetapi kudeta pasti menjadi “kemungkinan yang tragi. Negara ini ditentukan oleh sejarah itu, jadi ini tidak bisa dimaafkan. Orang-orang dari Myanmar akan menganggap itu tidak bisa dimaafkan,” katanya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri telah menyuarakan keprihatinannya mendengar rencana militer Myanmar untuk melakukan kudeta.
Pada Sabtu (30/1/2021), Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres mengatakan dia mengikuti dengan “keprihatinan yang besar” mengenai perkembangan di Myanmar.
Selain itu Australia, Inggris, Kanada, Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS), serta 12 negara barat lainnya, dalam pernyataan terpisah mendesak militer untuk “berpegang pada norma demokrasi”.
Mereka mengatakan bahwa mereka menentang “segala upaya untuk mengubah hasil pemilu atau menghalangi transisi demokrasi Myanmar”.
Laporan: Muhammad Hafidh