Artikel ini ditulis oleh Eko Sulistyo, Komisaris PLN (Persero).
Memasuki tahun politik jelang Pemilu dan Pilpres 2024, arena elektoral tampaknya masih akan didominasi isu-isu konvensional seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan dan kebijakan luar negeri, daripada isu lingkungan dan perubahan iklim.
Padahal isu perubahan iklim telah menjadi perhatian utama di seluruh dunia, baik bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan maupun swasta dan masyarakat.
Pergeseran aksi iklim dari pinggiran ke pusat perdebatan politik global dapat dilihat sebagai meningkatnya kesadaran perlunya pengurangan emisi karbon dan menjaga lintasan 1,5 – 2 derajat sesuai tujuan Perjanjian Paris (2015).
Sementara meningkatkan ancaman krisis iklim, seperti dalam laporan status Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), turut meningkatkan lanskap politik aksi iklim global berubah dengan cepat.
Tidak ada sudut dunia yang kebal dari konsekuensi perubahan iklim yang menghancurkan.
Bahkan negara berkembang akan terkena imbas krisis iklim lebih awal dibandingkan dengan negara maju, karena sebagian besar industri negara maju telah direlokasi di negara berkembang dengan minimnya mitigasi lingkungan.
Untuk itu, perlu mengambil langkah-langkah strategis dalam kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Minim Kampanye Iklim
Sebagai negara yang rentan terhadap risiko iklim, seperti dipublikasikan Asian Development Bank (ADB), Climate Risk Country Profile: Indonesia (2021), Indonesia berada pada peringkat sepertiga negara teratas dalam risiko iklim, dengan paparan tinggi terhadap semua jenis banjir dan panas ekstrem. Intensitas bahaya ini diperkirakan akan meningkat seiring dengan perubahan iklim.
Indonesia juga sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut, ketahanan pangan, ketersediaan air, pengelolaan risiko bencana, pembangunan perkotaan terutama di wilayah pesisir, serta kesehatan dan gizi, dengan implikasi kemiskinan dan ketidaksetaraan.
Tanpa adaptasi dan pengurangan risiko bencana yang baik, masyarakat miskin dan paling terpinggirkan akan mengalami kerugian dan kerusakan yang signifikan sebagai dampak dari perubahan iklim.
Untuk itu, implementasi Perjanjian Paris dan penanganan dampak risiko iklim membutuhkan peran DPR, partai politik, dan masyarakat sipil untuk memonitor kebijakan iklim.
Namun mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sampai saat ini masih menjadi isu pinggiran dalam agenda politik elektoral.
Partai politik dianggap belum memberi perhatian dan belum menjadikan krisis iklim sebagai prioritas dalam agenda politik. Perdebatan tentang isu perubahan iklim juga masih jarang dalam kompetisi kampanye partai politik maupun debat calon presiden.
Sementara di negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat, Kanada dan Australia, isu perubahan iklim telah menjadi inti dari program politik Pemilu.
Inisatif-inisiatif strategis tentang transisi energi, pembentukan Kementerian Iklim maupun UU Iklim, adalah realisasi janji politik selama kampanye.
Mengacu pada literatur yang ada, misalnya seperti disertasi Sondre Batstrand (2015), Climate Change: Challenging Democracy, Challenging Parties, ada beberapa penyebab partai politik kita kurang perhatian terhadap isu perubahan iklim.
Pertama, masih relatif barunya kesadaran akan perubahan iklim dan tindakan kebijakan untuk mitigasi dalam politik iklim.
Kedua, kkarakter internasional politik iklim dipandang sebagai masalah bagi lanskap politik yang masih didominasi aktor politik yang berpandangan perjanjian internasional adalah penyerahan sebagian kedaulatan nasional. Sehingga kepentingan ekonomi dan nasional dapat menghambat mitigasi iklim dan merangsang solusi teknologi rendah emisi.
Ketiga, membedakan politik iklim dari politik lingkungan. Berbeda dengan masalah lingkungan yang bersifat lokal dan konkret, perubahan iklim bersifat global dan abstrak.
Dengan perubahan iklim, masalah lingkungan tidak lagi terbatas pada area di sekitar emisi, dan tidak lagi dapat dicium atau dirasakan, serta melampaui ruang dan waktu.
Karakter masalah yang tidak terwujud dari perubahan iklim ini yang membuat upaya beralih ke sains untuk mengetahui apakah sesuatu itu berbahaya atau tidak. Karenanya dalam perubahan iklim, tidak hanya membutuhkan ilmu iklim dan sains, tapi juga politik yang menjadi ilmiah.
Dibutuhkan keahlian ilmiah dalam mendefinisikan masalah lingkungan yang relevan dengan isu perubahan iklim.
Keempat, ruang lingkup yang luas dan campur tangan dengan banyak bidang kebijakan, sehingga sulit membandingkan politik iklim dengan masalah lingkungan global lainnya seperti penipisan lapisan ozon.
Perubahan iklim bukanlah satu isu sempit yang terbatas pada satu sektor saja, melainkan isu luas yang menyangkut banyak sektor, mulai dari energi dan transportasi hingga pertanian dan konsumsi.
Kelima, langkah-langkah iklim juga dapat bertentangan dengan masalah lingkungan. Tenaga nuklir mungkin bisa menggantikan bahan bakar fosil, tapi juga bisa menimbulkan masalah limbah bagi lingkungan dan risiko bagi kesehatan manusia.
Membangun ladang angin juga bisa membuat energi terbarukan, tapi pada saat yang sama bisa berdampak negatif bagi keanekaragaman hayati dan kehidupan liar.
Preferensi Partai Politik
Minimnya agenda politik perubahan iklim dari partai politik justru terbalik dengan antusiasme masyarakat, khususnya kalangan milineal yang menilai perubahan iklim merupakan masalah serius yang dampaknya telah mereka rasakan saat ini.
Hal ini dapat dilihat dari hasil sigi Indikator Politik Indonesia (2021), yang menunjukan mayoritas pemilih muda yakni Gen-Z dan milineal menaruh perhatian serius pada krisis iklim.
Generasi ini menempati proporsi terbesar dari polulasi pemilih di Pemilu 2024, sekitar 80 juta atau 40 persen.
Sebagai preferensi publik dan suara politik, partai-partai politik dapat menjadikan realitas yang terpotret dari survei Indikator Politik ini sebagai peluang strategis untuk melibatkan kalangan muda menyusun platform politik iklim di pemilu 2024.
Partai politik menjadi jembatan antara kepentingan warga negara dan pemerintah, dan memperkuat saluran suara politik warga, masyarakat sipil, dan bisnis. Dengan demikian partai politik menanggapi permintaan pemilih, tapi juga membentuk sikap publik.
Partai politik juga dapat secara langsung mempengaruhi tingkat ambisi pencapaian emisi dan kebijakan dengan membentuk arah strategis dan substansi kebijakan iklim.
Partai politik, khususnya pimpinan partai, merupakan aktor kunci pembentuk kebijakan publik, sehingga dapat mengusulkan legislasi kebijakan mitigasi perubahan iklim.
Preferensi partai politik ini sangat penting guna meningkatkan isu perubahan iklim dan partisipasi publik.
Kita berharap Pemilu 2024 akan diwarnai kompetisi isu perubahan iklim diantara partai politik dan debat calon presiden dalam kampanye.
Sehingga pemilih dapat mengetahui arah strategis dan janji politik dari parta-partai politik dan calon presiden dalam penanganan perubahan iklim.
Komitmen politik ini termasuk dalam mendukung Indonesia Net Zero Emission (NZE) 2060, mengingat kemungkinan perubahan lanskap politik bisa terjadi dengan Pilpres 2024.
[***]