Artikel ini ditulis oleh Hendrajit, pemerhati geopolitik.
Sebuah ide atau pemikiran lahir terkadang justru dari seorang penulis atau pengarang yang tidak tergolong tokoh, atau yang sudah dilupakan oleh sejarah.
Umberto Eco, sastrawan Italia yang juga kelak terkenal sebagai pakar semiotika, punya pengalaman unik sewaktu sedang menyiapkan tesis doktoralnya.
Satu ketika Eco begitu penasaran untuk mencari sumber rujukan pakar yang bisa memperkuat tesisnya mengenai pandangan Thomas Aquinas terkait karya seni dan keindahan.
Sampai jelang tesisnya maju ke sidang penguji, belum ada satu pakarpun yang secara otentik jadi rujukannya untuk memperkuat tesis Eco tentang Thomas Aquinas.
Secara tak sengaja, Eco mampir pada sebuah toko buku lawas langganannya di Paris, lalu tertarik pada sebuah buku kecil, karena bentuk cover bukunya yang unik, yang ditulis oleh Abbott Velvet.
Waktu dia baca buku itu, tiba-tiba pikirannya seakan menyala, dan sewaktu membaca buku itu di tempat, dan ini menyimpang dari kebiasaannya karena biasanya kalau ada buku yang menarik langsung aja dibeli dan dibaca di rumah, tiba-tiba begitu dibaca seperti mendapat ilham. Eureka!
Tiba-tiba apa yang selama ini dia cari sebagai rujukan, lantas dia jadikan dasar untuk melahirkan pikiran-pikiran baru yang sepenuhnya asli dari dirinya.
20 tahun kemudian, ketika dia baca ulang buku itu, gegara ada temannya yang bilang jangan-jangan Abbott Velvet itu fiksi, sehingga Eco ngajak temannya main ke rumah buat ngopi sembari dia tunjukin bukunya Abbott itu.
Singkat cerita, urusan pembuktian ke temannya bahwa sosok Abbott itu memang nyata, sudah selesai. Namun cerita belum selesai sampai di situ.
Waktu dia kutip ulang ke temannya tulisan Abbott yang dulu memantik ilham pikiran baru muncul dalam diri Eco, tiba tiba pengarang novel ‘Then Name of the Rose’ itu terkejut.
Ternyata ketika dibaca sekarang tulisan Abbott itu hambar, dan Eco tersadar bahwa ternyata apa yang ditulis Abbott tidak sejauh yang ada pada pikiran Eco sehingga waktu itu terilhami.
Namun Eco seperti mendapat hikmah berharga. Meskipun seperti itu kejadiannya, Eco merasa tidak akan berhasil menyusun tesisnya sendiri secara orisinal jika tidak bertemu dengan bukunya Abbott.
Karena melalui Abbott itulah, terlahir pikiran-pikiran baru orisinal khas Eco sendiri mengenai cara pandang Thomas Aquinas mengenai seni dan keindahan.
Hikmah kedua dari cerita ini. Bahwa ketika anda sedang meriset baik itu untuk tesis atau disertasi doktor, maupun riset untuk penulisan buku yang sedang anda persiapkan, jadikan ini sebagai petualangan dan perjalanan yang amat menyenangkan.
Lalu bersiaplah menemui hal-hal yang mengejutkan dan penuh misteri, selama perjalanan.
Saya berharap semoga masing-masing diri anda, menemukan Abbott Velvet-Abbott Velvet nya sendiri-sendiri.
[***]