RASIO utang pada akhir tahun anggaran 2019 naik menjadi 30,17 persen PDB dari 24,7 persen akhir 2014. Hal tersebut, mengkonfimasi kegagalan Pemerintahan Jokowi meraih target utang negara sebesar 20 persen PDB, sebagaimana ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019.
Kegagalan tersebut, merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Karena debt to income ratio menjadi sebesar 244 persen. Artinya, total utang negara menjadi 2,44 kali lebih besar dari pendapatan negara.
Namun demikian, pemerintah meyakini rasio utang negara sebesar 30,17 persen masih sangat aman. Karena, jauh di bawah batasan akumulasi utang negara sebesar 60 persen PDB yang ditetapkan dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Adapun penyebab kegagalan pemerintah meraih target utang, karena realisasi pendapatan negara APBN 2015-2019 sangat rendah. Angka tertinggi rasio pendapatan negara periode tersebut sebesar 13,1 persen tahun 2018, jauh dibawah rasio pendapatan negara sebesar 14,67 persen tahun 2014, yang merupakan rasio pendapatan negara terendah periode anggaran 2000-2014.
Realitas tersebut, membuat ruang fiskal dihimpit oleh pendapatan negara yang rendah dan utang yang besar, sehingga belanja negara semakin terbatas. Akibatnya, rasio belanja negara dalam realisasi APBN 2019 menjadi sebesar 14,59 persen PDB atau yang terendah sejak tahun 2.000.
Sejalan dengan hal itu, diperkirakan rasio pendapatan negara yang rendah akan mewarnai realisasi APBN 2020-2024, sehingga anggaran belanja negara masih terbatas.
Oleh karena itu, seyogyanya kebijakan fiskal diutamakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan peningkatan kualitas sumber daya manusia serta pembangunan infrastruktur prioritas. Sebab itu, proyek mercu suar seperti pembangunan ibu kota harus dihentikan.
Oleh Yusuf A.R, mantan Ketua KAPPI 1966, aktivis senior Majelis Rakyat Indonesia (MARI)