PEMERINTAH tengah memompa ban atau meniup balon. Terus dan terus. Dan, sesuai sunnatullah, balon yang terus ditiup atau ban yang terus-menerus dipompa, pada akhirnya bakal meledak.
Begitulah yang terjadi selama lebih lima tahun terakhir. Rezim yang berkuasa terus-menerus membebani rakyat dengan aneka tarif dan harga yang mahal. Tarif dasar listrik (TDL) naik awal tahun ini. Hal serupa juga terjadi pada tarif premi (pemerintah ngotot menyebutnya iuran) BPJS Kesehatan naik untuk semua kelas.
Padahal, penguasa sudah sepakat dengan DPR bahwa yang naik hanya untuk premi kelas 1 dan 2. Tapi begitulah kekuasaan yang dibangun dengan kebohongan dan kecurangan. Kalau kesepakatan dengan DPR, sebuah lembaga terhormat yang tercantum dalam konstitusi saja bisa pemerintah ingkari, tentu bukan hal aneh jika penguasa dengan gampang menyengsarakan rakyatnya sendiri.
Zalim dan tidak adil
Kezaliman dan ketidakadilan penguasa terhadap rakyatnya sendiri juga tampak jelas dari kebijakan dan struktur APBN. Di sini, berbagai alokasi anggaran belanja sosial terus dipangkas. Subsidi energi termasuk listrik dan BBM dibabat hingga ke titik nol. Rakyat dan kalangan UMKM dihisap habis-habisan lewat pajak yang digenjot gila-gilaan.
Khusus untuk penerimaan pajak, pemerintah benar-benar _ambyar_. Realisasi penerimaan pajak 2019 yang hanya sekitar 84,4%, menunjukkan jebloknya kinerja Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan. Bahkan selama perempuan pejuang neolib ini menjadi Bendahara Negara, rasio pajak Indonesia menyentuh titik terendah. Berdasarkan data Ditjen Pajak, pada 2018 rasio pajaknya 11,5%, 2017 sebesar 10,7%, dan 10,8% pada 2016. Sedangkan tahun 2015 dan 2014 masing-masing 11,6% dan 13,7%.
Angka-angka rasio pajak ini sudah memperhitungkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang bersumber dari sektor sumber daya alam (SDA) dan mineral dan batu bara (Minerba). Jika rasionya hanya dihitung berdasarkan penerimaan yang dipungut Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai, dipastikan angkanya lebih rendah lagi.
Di sisi lain, sebagai hamba mazhab Neolib yang memegang teguh prinsip creditors first, Sri sangat disiplin dalam membayar cicilan dan bunga utang. Tahun ini, APBN menganggarkan pembayaran bunga utang 2020 mencapai Rp295 triliun. Jumlah itu ditambah dengan pembayaran pokok utang Rp351 trilliun. Dengan demikian, total alokasi anggaran pembayaran pokok dan bunga utang mencapai Rp646 triliun.
Tingginya pembayaran cicilan pokok dan bunga utang ini disebabkan syahwat Sri dalam menjaring utang terbilang ugal-ugalan. Utang Indonesia setiap tahun bertumbuh rata-rata 20%. Padahal pertumbuhan PDB rata-rata cuma 5%. Ini artinya, utang kita naik 4 kali lebih cepat daripada pertumbuhan PDB.
Di tataran kehidupan sehari-hari, pemangkasan aneka subsidi dan penggenjotan pajak yang gila-gilaan telah menyebabkan naiknya aneka harga kebutuhan pokok. Akibatnya, beban rakyat kian berat saja.
Pada saat yang sama, pemerintah makin menunjukkan ketidakadilan yang luar biasa. Yang teranyar, misalnya, pemerintah memberikan _tax holiday_ alias pembebasan pajak kepada pengusaha Prajogo Pangestu atas pabrik petrokimia yang bakal dia bangun. Tidak tanggung-tanggung, _tax holiday_ itu berlaku selama 20 tahun. Awal 2018 silam, pemerintah juga menggerojok lima perusahaan kelapa sawit besar senilai Rp7,5 triliiun. Kepada rakyat kecil dan UMKM pemerintah begitu bengis dalam memajak, sebaliknya bagi pengusaha besar penguasa cenderung memanjakan bahkan terkesan bertekuk-lutut.
Kemarahan rakyat juga kian dipicu dengan parade mega korupsi yang satu per satu terkuak ke publik. Skandal mega korupsi Jiwasraya Rp13 triliun dan Asabri yang sekitar Rp10 triliun, menambah panjang daftar keserakahan elit ekonomi dan politik negeri ini. Konon, sebentar lagi juga bakal meledak kasus Bumiputra dan sejumlah BUMN lain. Belum lagi kasus kondensat yang merugikan negara hingga Rp35 triliun yang sampai kini tidak mangkrak dan tidak jelas penyelesaiannya.
Seperti disebut di bagian depan tulisan ini, dengan berabagai ketidakadilan dan skandal mega korupsi tersebut, pemerintah ibarat tengah memompa ban. Terus dan terus. Pada akhirnya, ban akan meledak. Kemarahan rakyat pun bakal tak terbendung. Beratnya beban ekonomi yang harus ditanggung dan ketidakadilan yang secara telanjang dipertontonkan penguasa, bukan mustahil akan berujung pada terjadinya kerusuhan sosial. _Chaos_ bahkan revolusikah? Mungkin saja.
Jika kerusuhan sosial bakal revolusi benar-benar meledak, sanggupkah rezim ini mempertahankan kekuasaan? Sejarah membuktikan, tidak ada satu pun kekuasaan zalim yang mampu bertahan dari gelombang kemarahan rakyat! Begitu pun di Indonesia. Bukan mustahil ‘ramalan’ Rocky Gerung, bahwa Joko Widodo bakal tumbang sebelum 2024 menjadi kenyataan.
Pilpres ulang
Pertanyaannya kemudian, jika rezim ini benar-benar tumbang sebelum 2020, apa yang selanjutnya terjadi? Dalam konstitusi dikenal istilah Triumvirat yang diatur di dalam Pasal 8 ayat (3). Pasal itu berunyi: “ _Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak melakukan kewajiban dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama_.”
Jika Presiden dan Wapres secara bersamaan tidak berfungsi, maka Triumvirat menjadi pelaksana tugas kepresidenenan. Namun, dengan seabrek fakta yang terjadi, presiden dan kabinetnya ternyata selama ini justru menjadi sumber masalah. Kinerja mereka yang diberi amanat mengurus negeri dan menyejahterakan rakyat jauh di bawah banderol. Di tangan mereka, rakyat justru kian menderita dan merasakan ketidakadilan yang tak terperi.
Menyerahkan kekuasaan kepada DPR adalah tindak kedunguan luar biasa. Orang-orang di Senayan itu sama sekali tidak memiliki legitimasi moral. Integritas mereka sudah lama tercampak ke comberan. Indikatornya gampang saja, pada periode silam lebih dari 300 anggota DPR yang berurusan dengan kasus korupsi.
Jadi, bagaimana? Harus ada Pilpres ulang. Agar kredibel, kali ini buang jauh-jauh aturan _presidential threshold_ (PT). Di tangan hegemoni oligarki yang menguasai parlemen seperti selama ini, PT telah menjadi alat melanggengkan kekuasaan korup dan menindas. Lewat aturan ini mereka telah menyingkirkan putra-putra terbaik bangsa untuk tampil memimpin negeri. Presdiential threshold juga menjadi senjata ampuh melahirkan presiden yang sama sekali tak memiliki kapasitas dan kapabilitas. Tujuannya, agar presiden terpilih tetap bisa menjadi boneka yang patuh untuk mengamankan kepentingan bisnis dan politik para oligark.
Karenanya, pemilihan presiden pasca _chaos_ harus membuka kesempatan seluas-luasnya bagi para putra terbaik bangsa, tak peduli berapa pun jumlah calon yang muncul. Bahkan, katakanlah, akan mucul 100 Capres, tetap tidak masalah. Toh, nanti rakyat yang akan menentukan. Pada putaran kedua akan terpilih calon yang benar-benar mumpuni, berintegritas serta punya kapasitas dan kapabilitas sebagai pemimpin negara besar. Bukan seperti sekarang, planga-plongo dengan kapasitas dan kapabilitas jauh di bawah kebutuhan.
Oleh : Wartawan Senior Edy Mulyadi