KedaiPena.com – Upaya pemerintah untuk menjaga harga pangan, dinyatakan tak akan bisa berhasil dilakukan, jika pemerintah tidak ikhlas dalam membangun negara ini. Ketahanan pangan tidak akan bisa dicapai jika setiap pejabat hanya berfikir untuk kantong mereka sendiri.
Pengamat Pangan Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu (APEGTI) Nur Jafar Marpaung menyatakan pemerintah paska pandemi sedang mengalami kegalauan.
“Ini terlihat dari kebijakan pemerintah yang menaikkan harga bahan pokok dan kebutuhan keseharian rakyat, tanpa melihat kondisi rakyat yang sudah menderita. Seperti listrik itu, yang diusulkan mengalami peningkatan daya. Memang bukan kebutuhan pokok tapi kalau tidak ada listrik ya tidak bisa. Karena sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat sehari-hari,” kata Nur Jafar, saat dihubungi Jumat (16/9/2022).
Kesulitan masyarakat ini terlihat dari reaksi dari masyarakat yang disalurkan melalui aksi demonstrasi. Walaupun, memang perlu dibedakan juga mana demonstrasi yang pure memang ingin membela kepentingan masyarakat, mana yang hanya settingan.
“Dan jika pemerintah pusat meminta pemda untuk membantu agar kenaikan BBM tidak mempengaruhi harga bahan pokok, itu suatu hal yang tidak mungkin. Karena pemda sendiri saat ini pun sedang ‘ngos-ngosan’ untuk memenuhi kebutuhan wilayah mereka masing-masing,” ujarnya.
Sebagai contoh kesulitan pemda (red: pemerintah daerah) adalah pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) yang berasal dari Dana Perimbangan.
“DBH ini tak sempurna 100 persen. Paling hanya 30 persen dari yang diserap pemerintah dari daerah. Sisanya ya sedang diputar-putar oleh pemerintah. Dan pemerintah daerah perlu mengurus untuk pencairan dana sisanya,” ujarnya lagi.
Skema pencairan ini pun, lanjutnya, tak semudah yang diucapkan oleh pemerintah pusat.
“Selalu ada saja alasan pemerintah pusat untun menunda pencairan. Apakah itu dari sisi laporan pemda yang dinyatakan belum lengkap atau bisa juga, dinyatakan belum selesai audit dari BPK. Padahal jika dikonfirmasi ke BPK, BPK menyatakan tak bisa ikut campur dalam masalah DBH ini. BPK menyatakan DBH merupakan urusan langsung pemda, baik tingkat 1 dan tingkat 2, dengan Kementerian Keuangan,” kata Nur Jafar.
Oleh karena itu, ia menilai pemerintah hanya mengambil langkah mudah dengan mengalihkan kebutuhan keuangan pemerintah dari upaya menaikkan BBM maupun listrik.
“Selalu BBM dan listrik yang diotak atik. Tanpa mau meningkatkan efisiensi dan produktifitas dari sektor lainnya,” tuturnya.
Misalnya sektor pertanian. Alih-alih mendorong peningkatan hasil dan kualitas pertanian, pemerintah malah menaikkan harga pupuk.
“Pupuk subsidi memang ada tapi hasil panen tanaman produksi yang menggunakan pupuk subsidi ini, yang sudah lah naik harga, tak sebagus jika menggunakan pupuk non subsidi. Entah lah bagaimana komposisi pupuk subsidi itu,” tuturnya lagi.
Berbagai hal di lapangan ini, membuktikan bahwa pemerintah sedang galau dalam mengelola rakyatnya.
“Kalau dianalogikan, suatu danau kalau jalur keluar airnya itu dikorek, pasti keluar airnya besar. Padahal air masuknya tetap. Jadinya keluar lebih besar dibandingkan yang masuk. Akhirnya, danau surut. Jika itu terjadi, maka tinggal lah dicari alasan, apakah curah hujannya kurang atau kayu yang ditebangi terlalu banyak. Ya itu lah yang terjadi di Indonesia,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa