SEORANG senior sampai perlu mengibaratkan perekonomian sebagai persneling kendaraan bermotor untuk membantu memudahkan kita semua memahami persoalan.
Kita, Indonesia, ingin mengejar ketertinggalan kita dari negara-negara majulainnya, setidaknya di Asia. Ibaratnya kita sebagai kendaraan, memerlukan kecepatan 100 kilometer per jam untuk dapat mengejar Tiongkok, Jepang, dan negara-negara ajaib lainnya di Asia Pasifik yang belasan tahun menikmati pertumbuhan ekonomi double digit.
Aih-alih melakukan berbagai kebijakan terobosan yang menggeliatkan dunia usaha, memasang persneling 4 atau 5, pemerintah Indonesia dalam setahun terakhir malah melakukan kebijakan pengetatan anggaran negara dengan memprioritaskan pembayaran utang, yang berarti memasang persneling 1.
Dengan persneling 1, kendaraan diinginkan mencapai kecepatan100 km/jam, adalah sebuah upaya merusak mesin. Bukannya dapat menyusul kemajuan negara-negara tetangga di Asia, kita malah dapat semakin tertinggal.
Karena persneling 1 memang hanya untuk kecepatan maksimal 20km/jam.
Pertumbuhan ekonomi 5 persen yang terlalu lambat untuk ukuran Indonesia saat ini, adalah akibat memasang persneling 1 terus menerus dalam kebijakan ekonomi.
Presiden Jokowi mungkin sudah pasrah, pertumbuhan ekonomi pada era kepemimpinannya tak pernah mencapai 7% seperti janjinya pada masa kampanye 2014 dan dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah.
Maka tidak salah bila Iwan Fals tertawa kecil saat menyanyikan lirik, ‘Kalau pertumbuhan di atas 7 persen katanya eheheh’ dari lagu ‘Janji Jokowi’ (sumber: https://www.youtube.com/watch?v=CHs0wsowDzk).
Janji Jokowi adalah sebuah lagu yang dinyanyikan penyanyi balada legendaris ini pada akhir tahun 2015 di kawasan Istora Senayan. Saat itu akhir November 2015, baru setahun ulang tahun pemerintahan Jokowi. Seiring semakin dekat masa berakhirnya pemerintahan Jokowi, yang hanya bersisa dua tahunlagi, lagu Janji Jokowi semakin relevan.
Sayang seribu sayang. Janji Jokowi menghadiahkan pertumbuhan ekonomi 7% bagi pemilihnya tak dapat dipenuhi karena keberadaan ekonom neoliberal yang hanya paham rumus “persneling 1†untuk pacu ekonomi.
Ekonom ini adalah keturunan terakhir dari sebuah geng bernama Mafia Berkeley. Di tahun 2017 ini, sudah genap 50 tahun usia Mafia Berkeley menguasai perekonomian Indonesia. Lima puluh tahun lalu, tahun 1967 kelompok ini bekerjasama dengan kekuatan asing dan tentara untuk menjatuhkan Sukarno danmendirikan pemerintahan otoriter dengan sistem ekonomi neoliberal: Orde Baru.
Para priyayi kampus ini, Mafia Berkeley, berinisiatif sepenuhnyauntuk menyenangkan tuan-tuannya para lembaga keuangan Barat. Mereka-mereka ini, walaupun kabarnya pandai-pandai, ternyata bersedia didikte dari pembuatan pidato hinggapembuatan kebijakan oleh Barat.
Dasar sudah terbiasa menyenangkan Tuan-Tuan Baratnya, ekonom keturunan terakhir Mafia Berkeley ini juga mengikuti garis kebijakan umum neoliberal yang juga sedang diterapkan di banyak negara yang menjadi pasien grup IMF-Bank Dunia: austerity alias pengetatan.
Sebuah resep yang sellau gagal menjawab masalah perekonomian, dan sering menyebabkannya semakin terpuruk. Daya beli masyarakat terus merosot karena pemerintahannya terus memangkas berbagai subsidi kesejahteraan.
Konsumsi pemerintah Indonesia langsung minus (-) 2,95% padakuartal ketiga 2016, masih minus (-) 4,05% pada kuartal keempat 2016. Dihajar kebijakan pengetatan (austerity policy) sedemikian rupa pada konsumsi pemerintah (yang berkontribusi nyaris 10% dari total perekonomian), maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pun stagnan pada 5%.
Malaysia, negara tetangga yang terdekat, sudah menyalip kembali Indonesia dengan mencatatkan pertumbuhan ekonomi 5,8%. Hasil ini menepis forecasting para pengamat. Malaysia sudah pasang persneling 3 tampaknya.
Filipina sudah berada posisi persneling 4. Pertumbuhan ekonominya tercatat 6,5%. Keterpilihan Presiden Duterte yang sangat tinggi, mencapai hampir 90%, selain disebabkan ketegasannya dalam hal narkoba dan terorisme, ia sukses menghadirkan pertumbuhan ekonomi tinggi bagi rakyatnya. Sesuai janjinya.
Vietnam masih terus memasang persneling 5, sehingga sukses menikmati pertumbuhan ekonomi 6,7%. Berada setingkat mendekat dengan dua raksasa Asia, Tiongkok (6,9%) dan India (7,2%).
Jadi jangan melulu membandingkan pertumbuhan ekonomi kita, Indonesia, dengan negara-negara Barat di G-20, Mereka, negara-negara itu, telah mencapai kapasitas maksimal perekonomiannya. Sedangkan Indonesia masih belum. Patokan kita seharusnya negara-negara sekawasan yang cukup identik struktur perekonomiannya, seperti Malaysia, Filipina, Tiongkok, dan India di Asia. Pertumbuhan ekonomi 5% untuk Indonesia tidaklah cukup untuk dapat berlari mengejar mereka.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan