KedaiPena.Com – Pemerintah  sempat membuat geger publik lantaran kabar kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium akan naik pada Rabu, (10/10/2018) pukul 18:00. Akan tetapi, selang beberapa jam langsung dibatalkan.
Sontak hal ini pun sempat membuat publik bingung. Banyak pihak yang mencibir banyak juga pihak yang merespon positif hal tersebut.
Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah yang mencibir kebijakan pemerintah dalam menentukan harga BBM. Menurut Fahri pemerintahan sekarang berbeda dengan pemerintah sebelumnya.
“Pada masa Orde Baru, pemerintah sangat berhati-hati dalam menentukan harga BBM. Bahkan pemerintah menyampaikan pidato, mengenai alasan menaikkan harga BBM,” ujar Fahri di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, ditulis Sabtu (13/10/2018).
Fahri menyebut di era pemerintahan Jokowi, penaikkan harga BBM dilakukan secara diam-diam dan tidak terbuka. Padahal sampai kapan pun BBM menyangkut hajat hidup orang banyak.
“Itulah kenapa negara menjamin kepemilikan dan penguasaannya sesuai pasal 33 itu kepada negara. Kalau naiknya begini, itu sudah kaya BBM di tangan privat, seenaknya,” kata Fahri.
Dengan kondisi demikian, Fahri memberikan penilaian, bahwa kenaikkan harga BBM seperti menaikkan harga makanan. Pemerintah Jokowi tidak hati-hati dan cenderung sembrono.
“Orang menaikkan harga, seperti orang menaikkan harga gorengan atau pecel lele kalau kayak begini. Padahal ini kan adalah barang strategis, yang oleh konstitusi dimandatkan khusus kepada negara, pemerintah supaya ini dipegang karena hajat hidup orang banyak. Lah ini kaya lepas dan kayanya terjadi kekacauan gitu,” beber Fahri.
Sementara itu, pengamat energi UGM Fahmy Radhy menilai bahwa keputusan pemerintah yang tidak menaikan harga jual premuim sebagai hal yang tepat.
“Pemerintah memang dihadapkan pada dilema berat. Kalau harga premium dinaikkan akan menggerus daya beli rakyat dan memicu inflasi yang menyebabkan harga-harga  kebutuhan pokok meroket sehingga beban rakyat miskin semakin berat,” tukas Fahmy saat berbincang dengan KedaiPena.com.
Fahmy menambahkan, jika premium tidak dinaikkan di tengah harga minyak yang naik mencapai $ 80/barrel dan melemahnya rupiah, tentu akan memberatkan Pertamina.
“Dilema itulah barangkali yang melatarbelakangi keputusan harga premium nyaris naik,” ungkap Fahmy.
Ia pun mengapresiasi keputusan pemerintah yang membatalkan kenaikan harga premium. Hal itu menunjukkan bahwa Presiden Jokowi istiqomah untuk berpihak kepada rakyat miskin ketimbang mengurangi beban Pertamina.
“Karena sesungguhnya Pertamina menanggung potential loss hanya dari premium dan solar. Sedangkan pertalite, pertamax dan pertamina dex, harganya ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar, yang Pertamina bisa menaikkan harganya, dengan izin dari Kementerian ESDM, seperti yang dilakukan baru-baru ini,” ungkap Fahmy.
Lagi pula,kata Fahmy, Pertamina masih memiliki keuntungan dari BBM non subsidi bisa digunakan untuk menutup potential loss dari premium dan solar. Selain itu, Pemerintah telah menambah subsidi solar hingga Rp2500 per liter, yang sangat membantu Pertamina untuk mengurangi potential lost.
“Belum lagi keuntungan yang diperoleh dari hulu, seperti Blok Madura dan Blok Mahakam. Dengan demikian, kondisi keuangan Pertamina masih sangat kuat kalau hanya menanggung potential lost dan membiayai BBM Satu Harga,” pungkas Fahmy.
Laporan: Muhammad Hafidh