KedaiPena.Com – Tiap tanggal 10 Desember dunia internasional merayakan Hari Hak Asasi Manusia Internasional, sebagai peringatan lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang diadopsi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1948 silam.Â
Indonesia sendiri sudah mengadopsi prinsip-prinsip DUHAM ke dalam UUD 1945 pasca-runtuhnya kekuasaan otoritarianisme Soeharto, melalui serangkaian proses amandemen konstitusi.Â
“Namun demikian, sampai dengan hari ini komitmen HAM tersebut masih diuji dengan serangkaian pengabaian dan pembiaran berbagai kasus pelanggaran hak asasi, termasuk lemahnya komitmen untuk serius menjalankan kewajiban pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM,” kata ‎Wahyu Wagiman, ‎Direktur Eksekutif ELSAM dalam keterangan pers yang diterima KedaiPena.Com, Minggu (12/12).‎
Seperti tahun-tahun sebelumnya indeks kebebasan Indonesia masih berada dalam kisaran “setengah bebas†(partly free), di mana penegakan rule of law merupakan komponen yang paling rendah pencapaiannya (Freedom House, 2016). Di sisi lain, Reporters Without Borders menempatkan Indonesia di urutan 130/180 dengan indeks kebebasan pers sebesar 41,72, turun 0,97 persen dari tahun lalu.Â
“Penilaian dua organisasi internasional tersebut terhadap situasi kebebasan Indonesia sebenarnya tidak memperlihatkan perubahan ke arah yang lebih baik selama dua tahun terakhir. Sejumlah kasus intimidasi terhadap jurnalis, pembubaran diskusi, kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah, baik online maupun offline masih terjadi, bahkan menunjukkan kondisi yang semakin berbahaya di paruh terakhir tahun 2016,” jelas dia.‎
‎Pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir tidak memperlihatkan diri sebagai penjaga komitmen hak asasi, yang dia nyatakan sendiri dalam berbagai dokumen resmi pemerintahan, maupun forum-forum baik nasional atau internasional.
Dalam beberapa kesempatan, keputusan-keputusan Pemerintah bahkan muncul dari tekanan kelompok intoleran, baik yang berlatar agama, maupun ultra-nasionalis kanan, yang cenderung represif terhadap berbagai bentuk ekspresi kelompok rentan.Â
“Mulai dari tekanan terhadap kelompok LGBT, Syiah, Ahmadiyah, korban peristiwa 1965, pelaku kebudayaan, hingga represi dalam bentuk kriminalisasi terhadap kritik publik. Setahun terakhir, Pemerintah justru membiarkan aparat penegak hukum berjalan di bawah kendali kepentingan kelompok intoleran. Penggunaan pasal-pasal kriminalisasi seperti pencemaran nama baik, penistaan agama, dan makar masih menjadi pemandangan yang menghiasi perjalanan tahun 2016,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh