KedaiPena.com – Pemerintah diminta untuk tidak mengembangkan wacana Hiperinflasi, karena fakta menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh dari situasi tersebut. Pemerintah sebaiknya lebih mewaspadai kondisi stagflasi.
Pengamat Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan inflasi Indonesia memang naik akibat kenaikan harga BBM, tetapi masih sangat jauh dari kata hiperinflasi.
“Sekarang belum ada tanda-tanda kesana. Saya justru melihat ancaman ke Indonesia bukan inflasi atau hiperinflasi, tapi sudah mengarah pada stagflasi,” kata Bhima, Selasa (4/10/2022).
Ia menjelaskan, suatu negara disebut hiperinflasi jika tingkat inflasi sudah lebih dari 50 persen dalam satu bulan. Dalam hal ini, Indonesia yang inflasi normalnya berada di 4 persen, bisa dikatakan hiperinflasi jika tembus double digit.
“Indonesia masih jauh. Belum ada tanda-tanda kesana,” urainya.
Tapi ia menekankan bahwa stagflasi jauh lebih berbahaya dan mengancam dibandingkan hiperinflasi. Sebab, hiperinflasi terjadi saat kondisi tertentu, seperti di Indonesia karena kenaikan harga BBM dan barang lainnya yang biasanya terjadi sementara.
Selain itu, hiperinflasi biasanya terjadi karena lonjakan inflasi umum yang berlebihan dan diikuti dengan peningkatan inflasi inti yang menggambarkan sisi permintaan atau daya beli masyarakat ikut naik.
Sedangkan, stagflasi adalah kondisi dimana terjadi lonjakan inflasi karena kenaikan harga barang, tanpa diikuti inflasi inti atau permintaan, sehingga pertumbuhan ekonomi seret.
“Stagflasi naiknya harga barang tidak dibarengi kenaikan sisi permintaan. Kalau hiperinflasi, kondisi inflasi di atas 50 persen dan permintaan tetap tinggi. Jadi, stagflasi lebih berisiko karena ditunjukkan oleh ketidaksinkronan antara output produksi dengan inflasi,” tandasnya.
Laporan: Ranny Supusepa