KedaiPena.Com – Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla mendengarkan tuntutan demonstran dan berupaya sekuat tenaga agar masalah tenaga honorer terselesaikan segera.
Deputi II Kepala Staf Kepresidenan di Kantor Staf Presiden Yanuar Nugroho menegaskan, Presiden Joko Widodo terus mengingatkan bahwa ada 735.825 guru honorer yang bekerja di sekolah negeri tanpa ada kepastian status.
“Kepastian status inilah yang ingin diselesaikan dengan opsi status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)” kata Yanuar Nugroho yang juga seorang pendidik kepada wartawan ditulis Sabtu,(3/11/2018).
Menurut Yanuar Nugroho, hingga saat ini Peraturan Pemerintah tentang Manajemen P3K belum terbit. Namun Presiden sudah meminta agar RPP Manajemen PPPK ini bisa secepatnya diselesaikan.
Diakui Deputi Kantor Staf Presiden yang menangani bidang Reformasi Birokrasi ini, perlu ada diskusi mendalam mengenai konsekuensi anggaran dalam proses penyusunannya.
Yanuar menyebut contoh pengangkatan 438.590 orang Tenaga Honorer Kategori-2 (THK-2) menjadi CPNS secara langsung tanpa ada tes berpotensi memiliki konsekuensi anggaran sebesar Rp 36 Triliun/tahun. Angka itu belum termasuk dana pensiun.
“Kalau kita mau berpikir rasional maka penambahan anggaran sebesar itu jelas membutuhkan banyak pertimbangan,” kata Yanuar menegaskan.
Ia mengatakan, setidaknya ada tiga alternative solusi yang digodok Kantor Staf Presiden bersama Kementerian terkait upaya meningkatkan kesejahteraan guru honorer.
Opsi pertama, lanjut Yanuar, adalah membuka solusi CPNS 2018. Opsi ini bisa dipilih untuk penyelesaian isu krusial status tenaga honorer K-2 di bidang tertentu.
“Kebijakan ini dilakukan secara hati-hati, berbasis pada proses verifikasi dan validasi data yang dilakukan oleh BKD, BKN, Kepala Daerah serta Kementerian PAN dan RB dengan supervisi dari BPKP,” papar Yanuar.
“Sistem seleksi dapat dilakukan aksi afirmatif antara lain; 1) membuka formasi CPNS untuk tenaga honorer, 2) uji kompetensi dasar dikompetisikan antar tenaga honorer,” sambung Yanuar.
Opsi kedua, Yanuar mengungkapkan, adalah pemberian status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Opsi ini dari aspek tertentu lebih fleksibel dibandingkan dengan PNS.
“Contohnya terkait Batas Usia Pelamar di atas usia 35 tahun sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Karena penerbitan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PP Manajemen P3K) dan Perpres tentang jabatan yang dibuka bagi P3K menjadi sangat urgent karena menjadi payung hukum penyelesaian masalah ketidakjelasan status pegawai dan pengangkatan tenaga honorer,” ungkap dia.
Sedangkan opsi 3 adalah pendekatan Kesejahteraan. Bagi tenaga honorer yang tidak lolos seleksi CPNS dan nantinya (apabila PP Manajemen P3K sudah ditetapkan dan terimplementasi) tidak juga lolos seleksi P3K, terdapat opsi pendekatan kesejahteraan.
“Pemerintah sedang mengkaji dampak fiskal untuk meningkatkan dukungan tambahan transfer daerah lewat mekanisme Dana Alokasi Umum dari Kementerian Keuangan agar Pemda dapat membayar gaji TH-K2 gaji sesuai UMR,” beber Yanuar.
Yanuar menuturkan, pemerintah senantiasa melakukan berbagai simulasi untuk mencari jalan terbaik bagi guru honorer dengan menghitung estimasi setiap pilihan. Pertimbangan mengangkat kesejahteraan guru dengan tetap mempertimbangkan keterbatasan anggaran dan menjaga standar guru kita.
“Ini upaya terbaik untuk semua Tenaga Honorer,” kata Yanuar sembari berharap agar Guru Honorer yang memenuhi syarat minimum mau melamar menjadi Guru PNS.
Yanuar tak sepakat dengan pandangan yang menyatakan nasib guru honorer menjadi seperti sekarang karena kesalahan mereka sendiri yang mau menjadi guru honorer.
Ia meminta semua pihak mengingat besarnya peran guru yang mau bekerja di daerah pelosok dan terpencil meski dengan honor yang minim. “Sudah kewajiban negara untuk memperhatikan kesejahteraan mereka,” kata Yanuar.
Pemerintah, kata Yanuar, tak sekedar memikirkan kesejahteraan tapi juga kompetensi dan seleksi. Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan pemerintah tak hanya bertanggung jawab pada guru namun juga pada murid dan orang tua murid.
Menurut Yanuar, jika tanpa seleksi, maka pemerintah tidak bisa memastikan guru yang mengajar anak kita memang telah memiliki standar kapasitas minimum tertentu. Proses seleksi juga membantu memastikan distribusi guru menjadi lebih merata. Jadi seleksi harus tetap ada.
“Detail kriterianya seperti apa, masih bisa kita diskusikan,” tutup Yanuar.
Laporan: Muhammad Hafidh