Artikel ini ditulis oleh Bayquni, eks aktivis 98 Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ), Perkumpulan Indonesia Muda (PIM) Jakarta.
Bulan Mei 1998 menjadi bulan terakhir tumbangnya pemimpin orde baru selama 32 tahun. Meletusnya Tragedi Trisakti, Kerusuhan 13-14 Mei 1998, dan Tragedi Semanggi menjadi catatan sejarah kelam yang hingga kini belum terkuak pelakunya.
Krisis ekonomi, politik, dan hukum menjadi pemicu bergelombangnya gerakan rakyat dan dimotori oleh mahasiswa saat itu. Tuntutan reformasi dan jatuhkan kepemimpinan Soeharto menjadi permintaan mahasiswa saat yang tak bisa ditawar.
Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang tenar saat itu menjadi PR pemerintahan baru yang harus diwujudkan. Tuntutan reformasi lainnya adalah mencabut Dwi Fungsi ABRI, dan menurunkan harga-harga.
Namun selama pemerintah berjalan usai tumbangnya rezim orde baru hingga kini, amanat yang diberikan oleh gerakan rakyat khususnya mahasiswa seperti hilang tertiup angin.
Kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) penculikan aktivis mahasiswa, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi, dan korban kerusuhan Mei 1998, hingga kini tak jelas pelakunya dan bahkan belum pernah terjadi persidangan dengan menghadirkan pelakunya.
KKN yang menjadi amanat reformasi kepada pemerintahan saat ini juga jauh panggang dari api. Alih-alih melakukan pemberantasan korupsi, tiap pemerintahan pasca 98 banyak kepala daerah dan bahkan anggota kabinet pembantu dari presiden terjerat kasus korupsi.
Menurut laporan Transparency Internasional menunjukkan, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 pada 2022. Angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya.
Penurunan IPK ini turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia secara global. Menurunnya IPK Indonesia menandakan persepsi publik terhadap korupsi di jabatan publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politis di tanah air memburuk sepanjang tahun lalu.
Proyek kereta cepat, ibu kota negara (IKN), dan pembangunan infrastrukrur jalan berbayar membuat APBN Indonesia semakin berat.
Fokus pemerintah harusnya di bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu juga membuka lapangan kerja baru dengan menentukan upah pekerja/buruh secara manusiawi. Karena faktanya banyak upah atau UMR di daerah yang sangat jomplang.
Tuntutan agar TNI tidak berpolitik sejak 25 tahun lalu makin kesini juga seperti mundur. Terbukti dengan munculnya revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Dalam revisi UU tersebut diusulkan prajurit TNI aktif bisa menduduki jabatan sipil lebih banyak di kementerian atau lembaga.
Dibawanya kembali TNI ke politik praktis juga rentan dengan adanya usulan pembentukan Kodam di setiap provinsi. TNI tugasnya hanya sebagai penjaga pertahanan baiknya fokus di wilayah perbatasan yang rawan akan adanya konflik pertahanan.
Karena semangat itu termaktub dalam Pasal 11 ayat 2 UU TNI, yang menyatakan penggelaran kekuatan TNI harus memerhatikan dan mengutamakan wilayah rawan keamanan, daerah perbataasan, daerah rawan konflik, serta pulau terpencil sesuai dengan kondisi geografis, dan strategi pertahanan.
Belum lagi bila bicara secara ekonomi.
Dengan dibentuknya Kodam di setiap provinsi akan membuat bertambahnya kebutuhan anggaran. Padahal kebutuhan anggaran Indonesia saat ini sangat besar dengan beban utang yang kian bertambah.
Dengan situasi tersebut, kami eks aktivis 1998 dari Perkumpulan Indonesia Muda (PIM) Jakarta mendesak pengusutan dugaan kasus pelanggaran HAM Berat Tragedi Trisakti, Semanggi, Kerusuhan Mei 1998 diusut secara tuntas dengan menyeret pelakunya ke pengadilan
Pemeberantasan KKN khususnya pelaku korupsi dihukum dengan hukuman yang maksimal atau seberat-beratnya.
Kami menolak melibatkan TNI ke dunia politik dengan dilibatkan di jabatan sipil serta menolak perluasan Kodam di tiap provinsi.
Kami juga meminta agar upah buruh/pekerja (UMR) ditetapkan secara manusiawi.
Menolak penambahan utang dengan dalih pembangunan yang tak dirasakan manfaat bagi masyarakat banyak.
[***]