KedaiPena.Com – Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho menilai ancaman resesi ekonomi global yang diprediksi terjadi tahun ini akan berbeda dengan resesi yang pernah terjadi di 2008.
“Saya sependapat dengan Nouriel Roubini, seorang ekonom tersohor Amerika Serikat yang mengatakan bahwa penyebab resesi yang akan datang adalah karena negative supply shocks,” ujar dia, ditulis, Senin, (9/9/2019).
Andry begitu ia disapa menjelaskan bila resesi ekonomi terjadi, maka ke depan supply dari barang akan mulai terganggu dari segi kuantitas dan harga.
Dalam jangka panjang, kata dia, kondisi ini akan merembet pada harga yang mahal, menurunkan daya beli konsumen dan berimplikasi pada perlambatan ekonomi.
“Setidaknya ada tiga shocks yang menyebabkan resesi global: eskalasi perang dagang, perang teknologi, dan harga minyak. Namun pada kesempatan kali ini saya akan coba bahasa satu isu mengenai eskalasi perang dagang,” tutur dia.
Andry juga memandang gelombang resesi juga bisa ditimbulkan pasca pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping pada Oktober nanti.
“Jika hasil pertemuan ini tidak tercapai tanda-tanda kesepakatan untuk menurunkan tensi perang dagang, maka gelombang resesi akan semakin dekat,” papar dia.
Andry menilai kondisi makro ekonomi Indonesia sendiri sedianya sudah cukup teruji dalam melewati badai guncangan ekonomi global yang berimbas pada capital outflow.
“Sebut saja 2008 (subprime mortgage crisis), 2013 (taper tantrum) dan 2018 (stock market correction). Namun, resesi ke depan ini hanya sedikit melibatkan dari channel moneter dan keuangan karena bisa jadi banyak berasal dari perdagangan,” papar dia.
Andry menambahkan, jika berasal dari perdagangan, Indonesia sedikit tidak diuntungkan karena trade to GDP-nya masih kecil (43% dari GDP di 2018) dan Malaysia akan terdampak besar karena rasionya mencapai 132% dari GDP.
“Tentu tidak, karena komoditas terbesar yang diekspor dari Indonesia adalah barang mentah yang sangat volatile terhadap harga dan permintaan,” papar dia.
Untuk menghadapi gelombang resesi, Andry meminta, agar pemerintah bisa memperkuat basis produksi dan mengejar perbaikan pada industri prioritas.
“Yang berorientasi ekspor ke pasar dan negara dengan konsumen terbesar. Dalam hal ini salah satunya adalah Amerika Serikat,” imbuh dia.
Sedia Payung Sebelum Hujan Indonesia
Peneliti Senior INDEF lainnya, Fadhli Hasan meminta agar pemerintah Indonesia dapat mengantisipasi kondisi ancaman resesi global yang terjadi.
“Seharusnya sedia payung sebelum hujan, dimulai dari sekarang melakukan langkah- langkah kongkrit yang antisipatif,” ungkap dia.
Langkah pertama, kata dia, melakukan reformasi struktural secara lebih fundamental terutama terkait dengan aturan dan perizinan.
“Seperti penurunan restriksi perdagangan (tarif dan non tarif), perizinan FDI harus direlaksasi, peraturan pemerintah daerah yang memberatkan ekonomi juga harus dihilangkan,” imbuh dia.
Lalu ketiga, tegas dia, ialah menggenjot ekspor habis- habisaan, dengan menghilangkan berbagai restriksi dan promosi besar- besaran dengan target market yang terukur.
Diketahui, resesi global ditandai dengan perlambatan ekonomi di sejumlah negara kini mulai membayangi Indonesia. Pasalnya, Bank Dunia memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus melemah di tengah perlambatan ekonomi global.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu bicara mengenai resesi atau perlambatan ekonomi global yang mulai mengancam negara-negara maju. Menurutnya, Indonesia harus bersiap dengan segala kemungkinan dengan memperkuat fondasi perekonomiannya.
Laporan: Muhammad Lutfi