KedaiPena.com – Anggota Dewan Pakar DPP Partai Gerindra, Bambang Haryo Soekartono (BHS) menyatakan pergerakan kurs rupiah terhadap Dollar Amerika, yang terus mendekati level Rp17 ribu, seyogianya harus diwaspadai oleh pemerintah.
“Ini harusnya sudah menjadi warning bagi pemerintah. Karena pergerakan ini termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara,” kata BHS, Selasa (18/6/2024).
Data investing.com menunjukkan perkembangan kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika merupakan salah satu yang terburuk dibandingkan dengan mata uang beberapa negara lainnya sejak awal tahun hingga sekarang, year-to-date (YTD) per tanggal 17/6/2024.
Kurs Dollar Amerika terhadap Dong Vietnam +3,88 persen, Ringgit Malaysia +2,68 persen, Dollar Singapore +2,57 persen, Baht Thailand +6,88 persen. Sementara Rupiah Indonesia +6,58 persen.
“Kalau kita lihat pergerakan dari tahun 2012 berbanding tahun 2024 di exchangerates.org, pada Dollar Singapura pergerakannya dari 1,25 Dollar Singapura menjadi 1,325 Dollar Singapura, Brunei Darussalam dari 1,24 Dollar Brunei menjadi 1,35 Dollar Brunei atau 8 persen, Thailand dari 31,074 Baht menjadi 36,67 Baht atau 18 persen, Vietnam dari 20.857 Dong menjadi 25.942 Dong atau 22 persen, Filipina dari 42,2 Peso menjadi 58,70 Peso atau 39 persen. Malaysia, mengalami pergerakan cukup tinggi, yaitu dari 3,08 Ringgit menjadi 4,69 Ringgit atau 52 persen. Bandingkan dengan Indonesia yang mengalami pergerakan dari Rp9.670 menjadi 16.466 atau 70,28 persen,” paparnya.
Ia mengingatkan bahwa pergerakan kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika yang terus merangsek ke angka Rp17 ribu atau lebih buruk lagi ke Rp20 ribu ini berpotensi mempengaruhi kondisi makro dan mikro ekonomi Indonesia.
“Malaysia itu sudah mengambil langkah untuk merespon pergerakan kurs-nya, dengan cara membuka sebesar-besarnya pintu investasi pada industri, kepada negara China, Amerika maupun Eropa, karena Malaysia dilewati oleh kapal-kapal dari seluruh dunia. Kalau Indonesia ini susah mau melakukan langkah yang sama karena investasi dan biaya produksi di sini itu lebih mahal dibandingkan Malaysia,” paparnya lagi.
Menyikapi kondisi ini, BHS mengimbau pemerintah untuk bisa belajar dari kebijakan ekonomi di zaman Presiden BJ Habibie.
“Langkah BJ Habibie saat itu yang bisa ditiru adalah kebijakan fiskal untuk menghentikan sejumlah proyek infrastruktur dan mengurangi bahkan meniadakan perjalanan presiden yang kemudian diikuti pejabat dari pusat hingga daerah, untuk sementara. Tujuannya untuk menjaga anggaran negara,” ungkapnya.
BJ Habibie juga menolak usulan IMF untuk menaikkan harga BBM dan harga listrik, demi menghindari economic multiplier effect kepada pelaku usaha industri dan terutama UMKM.
“Kalau harga energi naik, yang paling banyak terkena dampaknya itu pastinya UMKM. Sementara UMKM itu adalah penyangga ekonomi kita yaitu 65 persen dan juga menyerap banyak tenaga kerja, yaitu 97 persen dari total lapangan kerja. Sehingga, dengan mempertahankan UMKM itu sama artinya menjaga daya beli masyarakat, yang artinya akan menjaga perputaran ekonomi,” ungkapnya lagi.
BJ Habibie juga melakukan penguatan perbankan agar bisa membiayai UMKM melalui skema kredit untuk usaha kecil.
“Selain itu, BJ Habibie juga memastikan kebutuhan sektor sektor pertanian di harga yang sangat terjangkau, sehingga ekonomi tetap bergulir,” kata BHS.
Ia mengharapkan pemerintah bisa memulai langkah-langkah untuk mengantisipasi pergerakan kurs Rupiah agar tidak semakin meningkat ke nilai Rp17 ribu atau lebih.
“Jika nilai tukar terhadap Dollar Amerika ini terus meningkat, maka dampaknya akan sangat merugikan. Karena hampir semua sektor di Indonesia ini bergantung pada komoditas yang terpengaruh oleh Dollar. Seperti bahan baku tekstil, itu kita raw materialnya 89 persen impor dari China, ditambah 7 persen biaya operasional yang juga tergantung pada kurs mata uang asing. Lihat saja, begitu banyak industri tekstil yang sudah mulai mandeg bahkan tutup. Dampaknya, pabrik tutup, PHK terjadi, masyarakat tidak punya daya beli. Saya mengimbau pemerintah bisa memberikan insentif maupun pengurangan biaya energi untuk sektor tekstil ini, sehingga kebutuhan sandang bisa tersedia oleh pengusaha dalam negeri,” ucapnya.
Atau jika sektor energi mengalami kenaikan harga, maka masyarakat dan pelaku usaha, terutama skala kecil, akan mengalami pengaruh yang signifikan.
“Misalnya, jika harga gas naik, maka pelaku usaha yang tidak mampu membeli gas lagi, terpaksa menutup usahanya. Ini biasanya UMKM yang terdampak, karena modal mereka kecil. Jika itu terjadi, maka akan ada beberapa kepala yang kehilangan mata pencaharian,” ucapnya lagi.
Jika BBM naik, maka sektor transportasi akan terpaksa melakukan penyesuaian tarif, yang akhirnya akan membuat konsumen atau masyarakat selaku pengguna jasa transportasi harus menerima adanya penambahan biaya.
“Saat itu terjadi, akan ada pengaruh pada perekonomian nasional juga. Harga barang tinggi, masyarakat tak mampu beli, akhirnya angka pertumbuhan ekonomi itu hanya bagus di atas kertas saja. Tapi masyarakat akan semakin turun kesejahteraannya. Sementara jika harga energi murah, maka ekonomi akan bergerak,” kata BHS lebih lanjut.
Harapannya pemerintah, para pakar dan ahli dibidang ekonomi serta asosiasi usaha (pelaku usaha) bisa secepatnya merumuskan suatu kebijakan atau skema ekonomi bersama-sama yang bisa menguatkan nilai tukar rupiah untuk memperbaiki kondisi perekonomian di Indonesia.
“Dan diharapkan pertumbuhan ekonomi kita bisa benar-benar mencerminkan pertumbuhan kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa