KedaiPena.Com – Pemerintah baru saja melakukan tutup buku laporan kinerja tahun 2017. Plt Ketua DPR RI Fadli Zon memberikan sejumlah catatan atas laporan kinerja pemerintah tersebut, terutama mengingatkan pemerintah tentang risiko atas terus meningkatnya jumlah utang Indonesia.
Untuk diketahui menurut laporan tersebut realisasi defisit tahun 2017 tercatat Rp345,8 triliun. Secara nominal, realisasi defisit tersebut memang lebih rendah ketimbang realisasi defisit tahun 2016, yang mencapai Rp367,7 triliun.
Namun, meskipun secara nominal jumlahnya turun, namun persentasenya terhadap PDB justru meningkat. Tahun 2016, rasio defisit APBN-P terhadap PDB mencapai 2,46 persen. Tahun 2017, angkanya naik menjadi 2,57 persen terhadap PDB.
Fadli mengatakan selama ini pemerintahan Jokowi selalu menunjukan rasio defisit yang cenderung terus membesar. Seperti pada 2014, defisit masih berada di angka Rp227,4 triliun, atau 2,26 persen terhadap PDB. Tahun berikutnya, 2015, defisit melonjak menjadi Rp318,5 triliun, atau mencapai 2,8 persen terhadap PDB.
“Antara 2015 ke 2016 persentasenya memang sempat turun, namun sebagaimana yang kita lihat, realisasi defisit tahun 2017 kembali meningkat,” imbuh Fadli di Komplek Parlemen Senayan Jakarta, Kamis (4/1/2018).
Fadli menuturkan soal defisit anggaran ini harus diperhatikan lantaran ketentuan mengenai hal itu telah diatur tegas oleh UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara. Lalu juga karena pemerintah selama ini selalu menutup defisit dengan menciptakan utang baru, poin yang juga diatur tegas oleh UU yang sama.
“Jika kita perhatikan, sekitar 75 hingga 80 persen pembiayaan defisit APBN memang ditutup oleh utang, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Inilah yang harus kita waspadai, karena saya melihat pemerintah terlalu menggampangkan persoalan jika membahas masalah utang ini,” jelas Fadli.
Selama ini, kata Fadli, Pemerintah selalu berdalih jika rasio hutang Indonesia masih dalam batas aman, karena masih di bawah angka 60 persen terhadap PDB sebagaimana yang dipatok UU. Menteri Keuangan, misalnya, pernah membandingkan rasio utang kita saat ini dengan tahun 2004, saat rasio utang kita mencapai 50 persen terhadap PDB.
“Selain itu, pemerintah juga selalu membandingkan rasio utang kita yang masih lebih kecil jika dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 56,22 persen PDB, Amerika Serikat yang mencapai 107 persen PDB, ataupun Jepang yang bahkan mencapai 239,27 persen PDB. Menurut saya, pembandingan semacam itu keliru, karena tidak memperhatikan kemampuan bayar yang berbeda-beda dari negara-negara tadi,” imbuh Fadli.
Fadli pun meminta, agar Pemerintah dapat belajar dari krisis utang Eropa, rasio utang sebenarnya bukan merupakan indikator yang pas untuk mengukur kemampuan sebenarnya dari perekonomian sebuah negara. Fadli juga mengatakan kasus di setiap negara soal hutang berbeda-berbeda.
Semisal Belgia dan Italia, lanjut Fadli, rasio utang kedua negara tersebut terhadap PDB di atas 100 persen. Namun, mereka tidak menjadi pasien IMF. Sebaliknya, Irlandia dan Spanyol rasio utangnya 40 persen terhadap PDB, tapi keduanya jadi pasien IMF.
“Begitu juga dengan Thailand, misalnya. Rasio utang Thailand memang tinggi, tetapi di sisi lain rasio pajak mereka jauh lebih tinggi jika dibandingkan Indonesia. Sehingga, kemampuan bayar mereka terhadap utang juga lebih tinggi dari kita,” jelas Politikus Gerindra ini.
“Begitu juga dengan Jepang. Meski rasio hutang mereka sangat tinggi, namun rasio tersebut sangat aman karena lebih dari 90 persen hutang tersebut berasal dari dalam negeri. Apalagi, sebagian besar surat utang pemerintah dipegang oleh Bank Sentral Jepang sendiri,” pungkas Fadli.
Laporan: Muhammad Hafidh