BARU-baru ini Pemerintah Jokowi mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2016 mencapai 5.02 %. Data ini bersumber dari publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) Januari 2017. Pemerintah amat senang karena menilai hal ini merupakan prestasi yang besar.
Sepintas membaca garis besar laporan BPS awal tahun ini, ekonomi Indonesia begitu menyenangkan hati, ada tambahan 0,02% agar pertumbuhan diatas 5%. Demikian juga kemiskinan turun, pengangguran turun, kesempatan kerja meningkat dan lain lain. Intinya Indonesia bahagia di bawah pemerintahan Bapak Jokowi.
Namun setelah ditelusuri lebih jauh, laporan BPS tersebut, terdapat anomali yang sungguh mengecewakan. Ternyata pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sedikit meningkat ini tidak diikuti dengan peningkatan indikator kesejahteraan mayoritas masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah kemampuan pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan sangat tidak signifikan.
Bayangkan dengan kekuatan anggaran mencapai hampir Rp2000 triliun dan tambahan utang pemerintah diatas Rp 500 triliun setahun, pemerintah hanya dapat mengurangi kemiskinan 250 ribu orang. Padahal hasil ini cukup dengan uang Rp 2,5 triliun saja, karena satu orang miskin tersebut bisa mendapatkan Rp 10 juta per orang.
“Kita tidak perlu Bappenas, menteri keuangan, menko perekonomian, menko maritim, dan lain-lain untuk mengeluarkan 250 ribu orang dari kemiskinan. Cukup pak Presiden Jokowi dengan kartunya.”
Minimnya prestasi menurunkan kemiskinan ini terlihat dalam Data BPS yang menggambarkan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2016 mencapai 27,76 juta orang (10,70 %), menurun 250 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2016 yang sebanyak 28,01 juta orang (10,86 %). Padahal kemiskinan adalah indikator utama dari keberhasilan pemerintah.
Lebih parah lagi kelompok masyarakat yang merupakan lapisan paling besar dari rakyat Indonesia yakni wong cilik, kaum Marhaen, petani dan buruh justru ekonomi mereka semakin parah dari waktu ke waktu.
Menurut laporan BPS Januari  2017 tersebut, Nilai Tukar Petani (NTP) Januari 2017 turun 0,56% dibanding Desember 2016. Demikian pula dengan upah riil harian buruh tani Desember 2016 turun sebesar 0,19% dibanding upah riil bulan sebelumnya, upah riil harian buruh bangunan Desember 2016 turun 0,29% dibanding upah riil bulan sebelumnya. Sementara Secara keseluruhan Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) turun sebesar 0,43 % dibandingkan Desember 2016.
Fakta diatas menunjukkan bahwa kaum marhaen, wong cilik, semakin tercekik hidupnya oleh karena pemerintah gagal mengendalikan inflasi yang tetap tinggi. Pada Januari 2017 terjadi Inflasi sebesar 0,97 persen. Dengan demikian setahun inflasi bisa mencapai 11 % sampai 12 %. Ini merupakan pemelaratan bagi kaum miskin.
Berdasarkan laporan BPS Januari  2017 tersebut, maka pertanyaan paling besar terhadap kinerja kementrian yang menangani pembangunan ekonomi dan keuangan pemerintahan Jokowi adalah pembangunan mereka untuk siapa? Pertumbuhan mereka untuk siapa? Untuk asing dan taipan atau untuk wong cilik dan kaum marhaen?
Untuk itu marilah kita sama sama menyanyikan kembali lagu Bang Haji Rhoma Irama, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Semoga menjadi pelipu lara ditengah bencana banjir melanda penjuru tanah air.
Oleh Salamuddin Daeng, Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Jakarta