Artikel ini ditulis oleh Pemerhati Sejarah, Arief Gunawan
TRADISI ilmiah dan sains yang berakar pada kearifan lokal dan pemahaman secara tradisional sudah dikenal oleh suku-suku bangsa di Nusantara sejak beradab-abad yang lampau.
Waktu pertamakali kapal Belanda mendarat di Banten, sekitar abad 16, para pembesar kesultanan meminta kapten kapal menunjukkan letak negeri Belanda di dalam peta.
Saat itu Aernout Lintgens, sang kapten, tidak ingin memberi kesan kalau negeri asalnya terlalu kecil. Sehingga merasa perlu membual.
Ia lalu menunjukkan sebagian besar benua Eropa sebagai negeri Belanda.
“Aku menunjukkan Nederland, Jerman, negara-negara Baltik, Norwegia, dan sebagian Rusia. Lalu semuanya kuberi nama negeri Belanda,” kata Aernot Lintgens, seperti dikutip oleh Andrian B Lapian, guru utama sejarawan maritim Indonesia, dalam buku Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke 16 dan 17.
Meski masih belum dalam taraf yang modern seperti sekarang para pembesar Nusantara waktu itu umumnya adalah orang-orang yang sudah memahami sains berupa ilmu pengetahuan kartografi (ilmu peta).
Ialah studi dan seni yang menggabungkan estetika dan teknik untuk menunjukkan obyek di belahan bumi agar dapat diinformasikan kepada khalayak dalam bentuk gambar yang disebut peta.
Dalam perjalanannya para pelaut Belanda juga membawa alat navigasi berupa kompas dalam berbagai jenis dengan jumlah ratusan. Mereka berharap bisa menjual kompas-kompas itu setibanya di Nusantara. Akan tetapi rupanya tidak ada yang memerlukan, sehingga harus dibawa kembali ke Belanda karena tidak laku.
Para pembesar Nusantara pada masa itu selain memahami sains berupa kartografi, navigasi, juga menguasai ilmu pengetahuan tentang astronomi (ilmu bintang atau ilmu falak), teknologi perkapalan dari kayu, dan masing-masing suku mempunyai persepsi tentang arah mata angin. Mereka mengembangkan sains dan budaya maritim sesuai daya cipta masing-masing.
Dalam risalah Seminar Sejarah 50 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-Rusia terungkap pula luasnya pemahaman para pembesar Nusantara terhadap sains.
Kesultanan Aceh misalnya pada 1873-1904 telah bersikap sangat terbuka dalam kerjasama teknologi maritim pada masa itu dengan Rusia. Bahkan Sang Sultan memohon kepada pemerintah Rusia untuk memberikan naungan kepada Aceh agar menjadi daerah protektorat untuk mencegah direbut oleh Belanda.
Para pembesar kerajaan-kerajaan di sekitar wilayah pesisir itu juga memberikan kontribusi ketika ratu Rusia Catherine Agung pada abad 18 memerintahkan para ilmuwannya untuk menyusun sebuah kamus komparatif 180 bahasa dan dialek, termasuk bahasa Indonesia yang kala itu masih disebut bahasa Melayu.
Profesor Denys Lombard menyebut kuliah bahasa Melayu yang pertama di Eropa terbuka pada tahun 1841 di kota Paris. Para ilmuwan Perancis merasa berutang budi atas jasa-jasa para pembesar di Kesultanan Melayu yang telah membuka diri dalam menyumbang khazanah pengetahuan di bidang linguistik, antropologi, sastra, filologi, arkeologi, dan sejarah, sehingga mereka menerbitkan majalah khusus, Archipel, tentang Indonesia yang terbit sampai hari ini.
Di era sebelum dan setelah kemerdekaan banyak tokoh dan menteri yang juga merupakan ilmuwan.
Profesor Prijono sebelum menjadi Menteri Pendidikan adalah seorang ilmuwan filologi Jawa yang sangat disegani, Sam Ratulangi merupakan ilmuwan multidimensional, ahli dalam bidang teknik, matematika, fisika, dan ilmu alam yang menempuh pendidikan di Universitas Zurich, Swiss, ialah almamater yang sama tempat Albert Einstein sebelumnya pernah menuntut ilmu.
Pada tahun 1932 Sam Ratulangi mendirikan Vereniging Van Indonesische Academici atau Persatuan Cendekiawan Indonesia.
Husein Djajadiningrat disebut-sebut merupakan profesor pertama Indonesia di bidang ilmu humaniora. Sosok menak Sunda asal Serang, Banten, ini sangat dihormati karena keilmuannya, sehingga figurnya diabadikan dalam bentuk patung di Universitas Leiden.
Dr Achmad Mochtar adalah salah seorang pimpinan Lembaga Eijkman. Ilmuwan terhormat alumni Stovia dan fakultas kedokteran Universitas Amsterdam ini dibunuh secara keji oleh tentara Jepang sekitar Juli 1945, karena difitnah menyuntikkan vaksin tetanus yang menyebabkan para Romusha di sekitar kawasan Klender tewas.
Dalam peristiwa ini banyak ilmuwan Lembaga Eijkman yang mengalami penyiksaan secara kejam. Jasad dokter Achmad Mochtar sendiri baru diketemukan 65 tahun kemudian di pemakaman Ereveld, Ancol. Namanya kini diabadikan sebagai rumah sakit di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Lebih jauh tentang begitu banyaknya ilmuwan Indonesia yang menempuh studi di Belanda dan kemudian menyumbangkan ilmu pengetahuannya untuk bangsa telah didokumentasikan secara baik oleh sejarawan Harry Poeze di dalam bukunya yang sangat berharga, berjudul: Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.
Esensi dari segelintir kisah-kisah di atas adalah bahwa bangsa ini sejak berabad-abad yang lampau sudah sangat terbuka terhadap sains dan mempunyai kemampuan daya cipta sendiri, serta dipenuhi oleh orang-orang yang cerdas dan berbakat dalam segala bidang ilmu pengetahuan.
Hakekat penting ilmu pengetahuan bagi sebuah bangsa adalah untuk menuntun masa depan bangsa itu sendiri.
Bahkan orang Belanda sewaktu menjajah negeri ini menggunakan sains sebagai ilmu-bantu kolonialisme. Yaitu Indologi dan Orientalisme dengan saintis Snouck Hurgronje, dan Melchior Treub, ahli botani penganjur komoditas pangan ekspor dengan laboratoriumnya yang terkenal, Kebun Raya Bogor.
Dengan ilmu-bantu itu Belanda membangun wilayah koloni mereka secara ilmiah.
Namun rezim hari ini ternyata tidak memakai sains untuk menuntun masa depan bangsa, sehingga lembaga riset seperti Lembaga Eijkman dibubarkan. Dengan risiko berupa efek pembodohan terhadap generasi bangsa di masa depan.
Lembaga Eijkman yang merupakan lembaga penelitian biologi molekuler
seharusnya dianggap sebagai bagian dari lembaga pertahanan negara karena di masa depan, seperti telah banyak disuarakan oleh para ahli, dunia akan memasuki era perang biologi.
Digabungkannya Lembaga Eijkman ke dalam BRIN yang dipimpin oleh ketua umum partai, yang sama sekali tidak memiliki rekam jejak di bidang ilmu pengetahuan, hanya akan menghasilkan spekulasi-spekulasi yang bisa membahayakan bangsa dan sama pula artinya dengan membunuh domain kalangan ilmuwan di negeri ini.
Entah kebetulan atau bukan, situasi seperti ini kurang lebih sama dengan apa yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin dimana kala itu banyak ilmuwan terbelenggu dan tersisih akibat tekanan kepentingan orang-orang politik dan ideologi.
Sejarawan Andrew Goss di dalam bukunya Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan, Dari Hindia Belanda Sampai Orde Baru, bahkan mencatat saat Iwa Kusumasumantri, seorang nasionalis yang terkait dengan PKI, menjabat sebagai Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, misalnya, ia sangat kejam memaksakan konsep Manipol-USDEK di seluruh universitas dan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan. Ia memecat para profesor yang dianggapnya menentang Demokrasi Terpimpin.
“Mahasiswa-mahasiswa yang berniat melanjutkan pendidikan ke luar negeri hanya dapat melakukannya jika mendapat izin pribadi menteri, dan harus berikrar setia kepada Manipol-USDEK sebelum berangkat,” tulis Andrew Goss.
Tindakan Iwa Kusumasumantri ini sangat ironis karena pada masa itu bidang ilmu pengetahuan di Indonesia baru mulai berkembang. Pada tahun-tahun pertama kemerdekaan lembaga-lembaga ilmiah dan universitas-universitas warisan Belanda merupakan aset yang sangat berharga, terutama jika lembaga-lembaga tersebut diawaki oleh ilmuwan Indonesia.
Tiga tahun menjelang kemerdekaan yaitu pada 1942 hanya ada 400 orang lulusan sekolah tinggi, yang kebanyakan adalah dari kedokteran. Selebihnya para sarjana hukum.
Kabar adanya pemecatan para ilmuwan dan staf Lembaga Eijkman ini tak luput pula dari perhatian tokoh nasional Dr Rizal Ramli yang juga pernah menekuni dunia saintis dan riset dengan lembaga Econit (Economic, Industry, and Trade) yang dipimpinnya pada pertengahan 1990-an.
Dunia riset atau penelitian adalah bidang yang pernah sangat akrab digeluti Rizal Ramli, bahkan saat ia baru menyelesaikan program master bidang ekonomi di Boston University, Amerika Serikat, Rizal Ramli pernah bekerja sebagai peneliti di BRI (Bank Rakyat Indonesia) berkaitan dengan efektifitas pelaksanaan program Kupedes-Simpedes di BRI untuk masyarakat pedesaan.
Menurutnya, pembubaran Lembaga Eijkman terjadi karena para politisi pemegang kebijakan tidak memahami pentingnya peran para saintis Eijkman.
“Dibubarin oleh politisi-politisi yang modal kuasa doang. Tanpa mengerti manfaat dan cara kerja lembaga riset,” kata Rizal Ramli.
Alih-alih memperkuat Lembaga Eijkman para pemegang kekuasaan justru malah memperlemah lembaga tersebut.
###