Artikel ini ditulis oleh Eko Sulistyo, Direktur Institute for Climate Policy & Global Politics.
Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, tantangan besar dalam mengatasi krisis iklim adalah menyeimbangkan kelangsungan pembangunan ekonomi dengan dorongan global menuju dekarbonisasi.
Sebagai negara yang bergantung dari ekonomi bahan bakar fosil, tekanan untuk beralih dari bahan bakar fosil membutuhkan biaya sangat besar.
Tanpa dukungan finansial dan teknologi yang signifikan, Indonesia dan negara-negara berkembang tidak mampu membangun infrastruktur energi terbarukan, sembari mengelola dampak ekonomi akibat transisi dari industri yang intensif karbon.
Tantangan besar ini akan menjadi tema sentral pembicaraan para pemimpin dunia dan negoisator pada pertemuan tahunan PBB tentang perubahan iklim (COP29) di Baku, Azerbaijan, dari 11-22 November 2024.
“Lompatan kuantum” dalam skala pendanaan iklim baru dalam COP29 akan menjadi kesepakatan paling ditunggu yang dapat mempengaruhi tingkat ambisi negara-negara berkembang dalam menyiapkan Kontribusi Nasional yang Ditentukan (NDC 3.0) pada 2025.
NDC 3.0 merupakan putaran ketiga dari NDC yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.
Pendanaan iklim diadopsi pada COP15 di Copenhagen 2009, ketika negara- negara menyetujui target $ 100 miliar yang akan dimobilisasi per tahun pada 2020, meski dalam kenyataannya menurut Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan, hal itu baru terpenuhi pada 2022 (OECD, 2023).
Penyusunan New Collective Quantified Goal (NCQG), dalam Pasal 9 Perjanjian Paris, akan diadopsi di COP29 untuk menggantikan tujuan pendanaan iklim 2020. Berkaca pada masalah pendanaan iklim di masa lalu yang selalu menjadi hambatan dalam memajukan negoisasi agenda di bawah Perjanjian Paris, sulit berharap lompatan kuantum dalam negoisasi NCQG di COP29.
Dalam dialog tingkat menteri untuk menyusun NCQG di Baku pada minggu kedua Oktober, perpecahan tajam tetap terjadi mengenai siapa yang harus menyediakan uang, siapa yang akan menerimanya, dan instrumen apa yang akan disalurkannya, belum ada kemajuan konkret.
Negara-negara berkembang diwakili G77 mendorong tujuan NCQG untuk memenuhi kebutuhan mitigasi dan adaptasi, dan mengusulkan angka $ 1-2 triliun per tahun. Negara-negara maju ragu-ragu menyebut angka, setuju untuk tujuan NCQG “setidaknya” sebesar $ 100 miliar (UNFCCC, 9/10/2024).
Alat Geopolitik
Rumitnya pembahasan pendanaan iklim selama ini terletak pada perbedaan prinsip “tanggung jawab bersama tetapi berbeda”, yang telah menjadi landasan negoisasi iklim internasional sejak 1992 di KTT Bumi di Rio de Janeiro. Kemungkinan besar prinsip ini akan tetap menjadi bagian penting argumen negara-negara berkembang di COP29.
Prinsip ini mengakui, meski semua negara berbagi tanggung jawab untuk mengurangi perubahan iklim, tanggung jawab historis negara-negara kaya yang telah diuntungkan dari industrialisasi dan emisi gas rumah kaca selama beberapa dekade, harus menanggung beban keuangan yang lebih besar.
Kerumitan lainnya adalah meletakan konteks COP29 di tengah situasi geopolitik, khsususnya hubungan AS-Cina saat ini. Selama ini pembiayaan iklim dibingkai sebagai solusi untuk membantu negara-negara rentan dan berkembang, menjadi alat geopolitik oleh negara-negara kuat untuk memperkuat pengaruh mereka.
Cina, telah menggunakan Belt and Road Initiative (BRI) untuk membiayai proyek infrastruktur, termasuk infrastruktur hijau, di seluruh Afrika, Asia, dan Amerika Latin, guna memposisikan sebagai pemimpin dalam transisi energi (UNCTAD, 2022).
Investasi Cina ini seringkali disertai dengan persyaratan strategis, yang mengarah pada apa disebut Himmer dan Rod (2023), sebagai “Chinese debt trap diplomacy”. Kenya dan Sri Langka adalah contoh dua negara yang telah menanggung utang yang signifikan kepada Cina melalui BRI.
Meningkatnya utang kepada Cina memberi Beijing pengaruh politik dan ekonomi yang sangat besar atas negara-negara ini yang mempersulit upaya mereka mengejar strategi iklim yang independen.
Sebagai tanggapan, AS dan UE telah meningkatkan upaya diplomasi iklim mereka, menawarkan dukungan finansial dan kemitraan teknologi untuk mengimbangi pengaruh Cina yang semakin besar.
Melalui US International Development Finance Corporation (DFC), AS berupaya untuk membiayai proyek-proyek energi hijau di Afrika dan Asia Tenggara sebagai bagian dari strategi iklim dan geopolitiknya yang lebih luas. UE melalui Global Gateway, juga bertujuan untuk menginvestasikan € 300 miliar dalam proyek-proyek infrastruktur global, diantaranya banyak berfokus pada energi bersih, dalam upaya menyaingi BRI Cina.
Dalam konteks meningkatnya emisi, meningkatnya dampak perubahan iklim, dan ketegangan geopolitik, COP29 akan menyepakati pendanaan iklim baru yang perlu disikapi Indonesia dan negara berkembang, dalam sikap yang sama, terutama demi kepentingan nasional dan memastikan stabilitas ekonomi mereka sambil menghormati komitmen iklim.
Pendanaan iklim penting bukan hanya untuk lingkungan, tetapi juga untuk pembangunan ekonomi dan stabilitas sosial. Transisi menuju energi bersih harus memungkinkan pertumbuhan ekonomi.
Reformasi Pendanaan Iklim
Telah banyak kajian menjelaskan ketergantungan yang besar pada pinjaman dari pendanaan iklim, semakin memperburuk beban utang banyak negara berkembang.
Dalam Climate Finance Shadow Report 2020, Oxfam mencatat hampir 70% dari keuangan iklim publik yang diberikan kepada negara-negara berkembang antara 2017 dan 2018 berbentuk pinjaman, bukan hibah. Bagi negara dengan tingkat utang luar negeri yang tinggi, pinjaman tambahan untuk mengatasi perubahan iklim hanya menciptakan lingkaran setan ketergantungan, dan mengurangi sumber daya untuk berinvestasi dalam pembangunan berkelanjutan.
Bohoslavsky & Rulli (ed.), Feminism in Public Debt A Human Rigths Approach (2024), juga menyatakan darurat iklim merupakan elemen kunci tambahan yang memperburuk akumulasi utang. Meningkatnya dampak darurat iklim di negara- negara Global South menyebabkan lebih banyak pinjaman eksternal agar dapat berinvestasi dalam langkah-langkah iklim, dapat menimbulkan beban kembar krisis.
Selama ini lembaga multilateral termasuk Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan PBB, telah lama memainkan peran utama dalam pendanaan iklim. Bank Dunia pada COP28 di Dubai, bahkan berjanji akan meningkatkan pendanaan iklim hingga 45% dari total komitmen Bank Dunia pada 2025.
Namun, terlepas dari upaya ini, banyak negara berkembang merasa frustasi dengan berbagai persyaratan birokrasi yang sering menyertai pendanaan iklim multilateral.
Kesenjangan antara dana iklim yang dijanjikan dan pencairan dana iklim yang sebenarnya, banyak dikeluhkan oleh negara-negara berkembang. Dalam banyak kasus, dana iklim sering dikaitkan dengan tata kelola yang ketat atau reformasi ekonomi, yang secara politis tidak realistis bagi pemerintah yang sedang berjuang menangani dampak perubahan iklim.
Terlebih lagi, ketergantungan yang besar pada pinjaman, semakin memperburuk beban utang bagi banyak negara berkembang.
Momen COP29 dapat dimanfaatkan delegasi Indonesia dan negara-negara berkembang untuk mendorong reformasi lebih keras kepada lembaga multilateral, menyerukan perubahan ke arah akses yang lebih langsung ke pendanaan iklim, mengurangi peran perantara dan memungkinkan pemerintah mengalokasikan dana berdasarkan prioritas nasional mereka.
Reformasi pendanaan iklim agar diberikan sebagai hibah, bukan pinjaman, juga sangat penting disuarakan terutama bagi negara-negara yang paling rentan dalam mengatasi perubahan iklim.
[***]