NYARIS lima tahun berlalu. Sebulan sebelum meninggalnya (8 Juni 2013), “Abang†Taufik Kiemas (TK) menerima kunjungan Rizal Ramli (RR) pada sekitar bulan Mei 2013 di kantornya, Gedung MPR.
RR dan TK adalah sahabat lama sejak era pergerakan, sangat kental, apalagi keduanya juga sebagai sesama napi politik pemerintahan Orde Baru.
Saat kunjungan pada Mei 2013, RR minta dukungan TK untuk menerapkan sistem pembiayaan partai politik dalam demokrasi Indonesia.
RR saat itu, sangat jengah dengan maraknya praktik korupsi yang menimpa banyak politisi muda (kasus Nazaruddin, Anas, Angelina, dan lainnya), ratusan anggota legislatif dan eksekutif.
Jalan yang ditawarkan RR adalah dengan membiayai partai politik oleh negara.
Diharapkan, dengan berjalannya sistem pembiayaan partai politik, maka demokrasi kita tidak lagi menjadi demokrasi kriminal.
Akan muncul kemudian anak-anak muda yang berkualitas, memiliki integritas, rekam jejak yang baik, dari demokrasi kita.
Tidak diperlukan lagi kader berduit untuk dijadikan pimpinan partai, tapi yang diperlukan adalah sosok yang idealis, seperti para cendekia dari kampus.
Partai tidak lagi dikuasai oleh para pemilik modal. Oligarki politik akan bubar.
Logika kerja sederhana. Dengan Negara ikut membiayai partai politik, maka partai- partai dapat fokus memikirkan masalah ideologi dan kenegaraan.
Tidak lagi disibukkan dengan mencari “duit partai†yang menghalalkan berbagai cara. Kebocoran, kerugian, yang diderita oleh negara akibat korupsi politik semacam ini sangat besar.
TK saat itu sangat setuju atas ide RR dan berjanji untuk memperjuangkan peganggarannya di MPR pada masa sidang berikutnya.
Kenegarawanan “Abang†TK memang tiada tandingannya, demi sebuah demokrasi Indonesia yang lebih berkualitas tanpa korupsi.
Sayang, beberapa minggu kemudian, kondisi sang Ketua MPR memburuk dan akhir pergi meninggalkan kita semua.
Ide pembiayaan partai politik tersebut sempat berulang kali dilontarkan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo di publik. Sekalangan pengamat juga setuju. Tapi tak kunjung terealisasi dengan maksimal.
Padahal demokrasi kriminal terus berlangsung. Kondisi ini jelas sistemik, para politisi tetap korup. Dapat dilihat bagaimana ganasnya korupsi e-KTP. Atau korupsi berjamaah (eksekutif bersama legislatif) di pemerintahan Kota Malang.
Karenanya sudah sangat mendesak untuk menerapkan ide pembiayaan partai politik sejak 2019. Bila ada yang tidak paham cara melaksanakannya, silakan pilih saja RR sebagai pemimpin Indonesia.
Oleh Gede Sandra, Pengamat Ekonomi Politik Universitas Bung Karno