KedaiPena.com – Pakar Ekonomi Hijau dan Ekonom Senior, Masyita Crystallin mengapresiasi pembentukan Badan Pengelola Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Niaga Karbon (BP3I-TNK) oleh Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming. Badan ini akan memberikan konsepnya pertengahan bulan Oktober ini. Tepat beberapa hari sebelum Presiden dan Wakilnya dilantik.
Sebelumnya diinformasikan, Tenaga Ahli Utama dan Ketua Satuan Tugas Percepatan Perdagangan Karbon Kantor Staf Presiden RI, Ishak Saing, menyatakan bahwa Badan Karbon ini akan mengerahkan, mengelola dan mengawasi transisi menuju ekonomi hijau berkelanjutan. Indonesia masih perlu menyelesaikan beberapa regulasi terkait agar pasar karbon lebih luas dan efektif.
“Rencana membentuk Badan Karbon atau BP3I-TNK ini jelas menunjukan kesungguhannya dalam merespon tantangan global terkait perubahan iklim, sekaligus memberikan harapan dan menangkap peluang pembiayaan hijau bagi keberlanjutan lingkungan hidup di Indonesia,” kata Masyita dalam keterangan tertulisnya, Rabu (16/10/2024).
Ia menyatakan peluang Badan Pengelola Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Niaga Karbon (BP3I-TNK) untuk membuka potensi pasar karbon yang secara nilai ekonomi sangat besar sangat bergantung pada pembentukan organisasi dan identifikasi peluang yang tepat.
“Tantangan yang dihadapi hampir semua negara dalam regulasi dan implementasi kebijakan iklim menunjukkan bahwa pengelolaan yang efektif membutuhkan koordinasi lintas-sektor yang kuat, tidak terkecuali mengenai pasar karbon,” ucapnya.
Masyita menambahkan bahwa unit seperti “Special Envoy” atau badan tertentu yang berada langsung di bawah Presiden, dengan mandat kuat untuk melakukan koordinasi lintas sektor menjadi krusial untuk memastikan bahwa kebijakan-kebijakan terkait perubahan iklim dapat terkoordinasi dengan baik dan mengurangi frakmentasi kebijakan di berbagai sektor.
“Hampir semua negara mengalami tantangan dalam regulasi dan implementasi kebijakan iklim karena itu beberapa negara mulai membentuk Kementerian Perubahan Iklim yang dapat mengagregasi kebijakan yang membutuhkan koordinasi multisektor,” ucapnya lagi.
Ia beranggapan, bahwa dengan pembentukan organisasi yang tepat dan koordinasi yang kuat di bawah kepemimpinan yang terintegrasi, BP3I-TNK berpeluang besar untuk tidak hanya membuka potensi pasar karbon yang bernilai triliunan, tapi juga mengatasi tantangan regulasi dan implementasi yang sering menghambat efektivitas kebijakan iklim.
Potensi pasar karbon di Indonesia bisa mencapai atau bahkan melebihi Rp3.000 triliun. Sedangkan menurut Indonesia Carbon Trade Association (IDCTA), potensi pasar karbon Indonesia bisa mencapai 565,9 miliar Dollar Amerika atau sekitar Rp8.488 triliun.
Selain itu, menurut Masyita, perlu dilakukan pemetaan peluang baik disisi supply maupun demand. Di sisi supply carbon bersumber dari “nature-based solution” dan transisi energi memiliki peluang besar untuk terus dikembangkan. Sementara dari sisi demand, ada 3 jensi pasar utama yaitu pertama Compulsory atau Compliance market, kedua, pasar karbon berdasarkan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) yang merupakan suatu badan di PBB yang mengurusi perubahan iklim artikel 6 (baik dari artikel 6.2 maupun artikel 6.4) dan ketiga, Voluntary Carbon Market (VCM).
“Jenis Compulsory Carbon atau Compliance Market, yaitu pasar yang terjadi karena regulasi. Biasanya regulasi dibuat secara sektoral yang memberi batasan emisi dengan memberikan allowance. Mekanisme yang digunakan biasanya adalah mekanisme cap and trade yang sudah banyak dikenal. Jika suatu perusahaan mengeluarkan emisi lebih dari batasan emisi maka perusahaan tersebut perlu mengkompensasi dengan membeli carbon credit dari perusahaan yang memiliki surplus allowance,” tutur Masyita.
Contohnya yang paling terkenal dari compliance market adalah European Union Emissions Trading System (EU ETS) dan California Air Resources Board (CARB).
“Kedua, pasar karbon yang tercipta dari artikel 6 Paris Perjanjian Paris. Diantaranya dari artikel 6.2 dan 6.4. Perdagangan melalui perjanjian UNFCCC ini dapat digunakan untuk pemenuhan Nationally Determined Contribution (NDC) suatu negara. Artikel 6.2 merupakan perjanjian Government to Government sementara artikel 6.4 menggunakan mekanisme intermediary yang hingga COP 28 rulebooknya belum diputuskan dan akan menjadi salah satu bahasan utama COP mendatang,” tambahnya.
“Ketiga, Voluntary Carbon Market (VCM), ini adalah jual beli yang dilakukan secara sukarela diantara pihak-pihak terkait untuk memenuhi target Net Zero atau transition plan sendiri. VCM lebih mudah diakses oleh perusahaan dan individu dibanding artikel 6 dimana perlu dibuat mekanisme oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC),” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa