KedaiPena.Com – Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) masih menunggu tindak lanjut kebijakan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) terkait dengan penundaan pembayaran Biaya Hak Penggunaan (BHP) Telekomunikasi dan Universal Service Obligation (USO).
Bahkan untuk menindaklanjuti hal tersebut, APJII berupaya keras untuk terus berkomunikasi dengan Kemkominfo agar asosiasi dapat melakukan pertemuan bersama Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate secara online, namun hingga kini belum ada jawaban.
“Dari saat kabinet terbentuk, APJII beberapa kali mencoba untuk melakukan pertemuan secara langsung maupun online dengan Menkominfo untuk menjelaskan secara langsung kondisi industri telekomunikasi, terakhir ini khususnya di tengah pandemi Covid-19 ini. Namun, upaya kami untuk bertemu dan berdiskusi mengenai hal ini selalu sulit terwujud,” jelas Ketua APJII Jamalul Izza, kepada wartawan, Minggu, (3/5/2020).
APJII pun berharap agar Kemkominfo bisa segera mengeluarkan kebijakan untuk menindaklanjuti rekomendasi dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait penangguhan waktu pembayaran BHP Telekomunikasi dan USO.
Sebab, kata dia, jika melewati tanggal jatuh tempo, maka industri akan dikenakan denda atau bunga sebesar 2 persen per bulan dari total tagihan PNBP.
“APJII sangat berharap, Kemkominfo untuk menindaklanjuti kebijakan yang sifatnya menindaklanjuti rekomendasi dari Kemenkeu itu,” ungkapnya.
Sebagaimana diketahui, sektor ini meski diuntungkan dengan melonjaknya trafik internet di masa-masa work from home (WFH) dan belajar dari rumah terutama untuk perusahaan telekomunikasi yang menyasar ke segmen ritel, tidak serta merta berdampak positif terhadap seluruh pendapatan global di industri telekomunikasi.
“Justru kami mulai kencangkan ikat pinggang. WFH hanya berdampak pada anggota kami yang memiliki izin seluler (6 anggota) dan anggota kami yang memiliki jaringan Fiber To The Home (FTTH) (20 anggota),” kata Jamal.
APJII yang memiliki lebih dari 500 anggota perusahaan internet service provider (ISP) di seluruh Indonesia, bukanlah deretan peruahaan-perusahaan besar.
Mayoritas anggota APJII adalah perusahaan ISP kecil yang notabene hidup dari model bisnis Business to Business (B2B). Di tengah pandemi Covid-19 ini, banyak perkantoran yang tutup. Mengalihkan aktivitas pekerjaan di rumah masing-masing karyawannya.
Hotel pun demikian. Tingkat keterisian rendah di masa wabah penyakit ini, menjadikan pendapatan hotel turun drastis. Praktis bagi perusahaan ISP yang menyasar segmen B2B mengalami penurunan trafik yang signifikan.
Hal tersebut, tentu saja memaksa adanya efisiensi, maka pemangkasan fasilitas seperti internet pun tak bisa dihindari. Banyak dari anggota APJII sudah terkena dampak dari pemangkasan ini yang mengakibatkan pendapatan perusahaan ISP ikut terjun hingga 50 persen.
“Perlu diketahui, lebih dari 70 persen dari anggota APJII, bisnis mereka bertumpu di sektor B2B. Melayani korporasi seperti perkantoran dan hotel. Jadi, tidak ada kata industri kami ini diuntungkan dari pandemi Covid-19. Itu adalah persepsi yang salah,” kata Jamal.
Di sisi lain, kata dia, sektor infrastruktur telekomunikasi menjadi tulang punggung dalam industri dan perekonomian nasional.
Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2014 di mana sektor telekomunikasi dapat mendukung Transformasi Digital demi menjadikan Indonesia berbasis industri 4.0.
Terlebih, di masa-masa wabah Covid-19, APJII telah membantu pemerintah untuk menyediakan akses khusus bagi pelajar dan mahasiswa untuk belajar dari rumah.
Diketahui, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengeluarkan surat tentang penyampaian jawaban atas permohononan penundaan waktu pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tertanggal 29 April 2020 kepada industri telekomunikasi yang diwakilkan oleh asosiasi terkait.
Dalam surat tersebut menyatakan bahwa penundaan waktu pembayaran PNBP dapat diakomodir dalam pengaturan jatuh tempo dan dapat melakukan koordinasi dengan Kemkominfo untuk menindaklanjuti permohonan tersebut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Laporan: Muhammad Hafidh