KedaiPena.com – Wacana pembatasan kuota nikel yang dinarasikan oleh pemerintah, diakui telah menjadi pemikiran para pelaku usaha smelter, yang membutuhkan pasokan bijih nikel dalam jumlah besar. Dinyatakan, jika pemerintah tetap menurunkan kuota nikel, akan berbuntut pada menurunnya produksi smelter.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey menyatakan wacana pemerintah untuk membatasi kuota bijih nikel pada 2025 akan berdampak pada kebutuhan bijih nikel, baik yang berkadar tinggi maupun rendah.
Ia menyebutkan industri smelter di Indonesia saat ini membutuhkan pasokan bijih nikel dalam jumlah yang sangat besar. Menurut data, hingga 2024, terdapat 49 smelter pirometalurgi yang sudah beroperasi, dengan total kebutuhan sekitar 232 juta ton bijih nikel.
Selain itu, ada 36 smelter lain dalam tahap konstruksi, yang memerlukan tambahan 158 juta ton bijih nikel untuk pirometalurgi.
“Sebagian besar smelter yang telah beroperasi tersebut, mengandalkan bijih nikel dengan kadar tinggi atau saprolit, yang diperlukan untuk proses pirometalurgi menghasilkan nikel pig iron (NPI), ferro nikel, dan nikel matte,” kata Meidy dalam salah satu acara, dikutip Sabtu (28/12/2024).
Untuk kebutuhan ini, ia menyatakan industri smelter pirometalurgi membutuhkan lebih banyak pasokan bijih nikel kadar tinggi. Sementara, untuk smelter yang menggunakan teknologi hidrometalurgi, kebutuhan bijih nikel yang dibutuhkan lebih sedikit dan lebih fokus pada nikel kadar rendah.
“Untuk 16 smelter hidrometalurgi yang sudah beroperasi, mereka hanya membutuhkan sekitar 62 juta ton bijih nikel kadar rendah. Namun, tahun depan akan ada 4 smelter baru yang mulai beroperasi, yang diperkirakan membutuhkan tambahan 56 juta ton bijih nikel,” paparnya.
Meidy juga menekankan bahwa, meskipun kebutuhan bijih nikel kadar rendah relatif lebih kecil, namun kebutuhan total bijih nikel untuk seluruh smelter yang ada, baik yang sudah beroperasi maupun yang dalam tahap konstruksi, diperkirakan akan mencapai sekitar 400 hingga 500 juta ton per tahun.
“Artinya, total kebutuhan bijih nikel akan terus meningkat,” imbuhnya.
Di sisi lain, ia mengungkapkan adanya penurunan signifikan dalam persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) dari pemerintah untuk tahun-tahun mendatang.
“Untuk tahun 2024, kebutuhan bijih nikel diperkirakan mencapai sekitar 260 hingga 280 juta ton, namun persetujuan RKAB yang diberikan hanya sekitar 271 juta ton. Sedangkan untuk tahun 2025, persetujuan RKAB yang sudah disetujui pemerintah hanya sekitar 246 juta ton, dan pada tahun 2026 hanya sekitar 198 juta ton,” kata Meidy lebih lanjut.
Ia mengaku heran, penurunan persetujuan RKAB ini terjadi di tengah kebutuhan bijih nikel yang terus meningkat.
“Ini menjadi kekhawatiran besar bagi kami di industri smelter. Kita bingung siapa yang mengajukan wacana pembatasan hingga 150 juta ton pada 2025, sementara kebutuhan kita terus naik,” ujarnya.
Ia berharap agar pemerintah dapat mempertimbangkan kembali wacana pembatasan kuota bijih nikel yang dapat mengganggu kelancaran pasokan untuk industri smelter.
“Kebutuhan bijih nikel terus meningkat, dan kami berharap ada kebijakan yang dapat mendukung ketersediaan bijih nikel dengan kadar tinggi dan rendah untuk memastikan bahwa industri smelter di Indonesia tetap dapat berkembang dan berproduksi secara optimal,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa