Artikel ini ditulis oleh Abdurrahman Syebubakar, Pemikir Pembangunan Manusia dan Demokrasi, Institute for Democracy Education (IDe).
Mazhab pembangunanisme (developmentalism) telah berjalan lama di Indonesia, terutama sejak Orba. Kemudian, menemukan bentuknya yang sangat primitif di era pemerintahan Jokowi.
Selama lebih dari 8 tahun terakhir, tidak ada yang tersisa dari pembusukan rezim Jokowi, mulai dari lesunya pertumbuhan ekonomi, meluasnya korupsi, kemiskinan dan ketimpangan yang makin dalam, meroketnya utang negara, penegakan hukum yang diskriminatif, regresi demokrasi, stagnasi pembangunan manusia, hingga anjloknya tingkat kebahagian, dan meningkatnya ketegangan sosial.
Bangsa ini nyaris kehilangan jejak untuk kembali ke cita-cita reformasi. Jalan yang dipilih dengan perjuangan dan pengorbanan segenap komponen bangsa, terutama mahasiswa. Yang pasti, kompas negara ini telah jauh melenceng dari cita-cita bernegara sebagaimana dinubuahkan para pendiri bangsa.
Mirisnya, mazhab pembangunanisme dengan daya rusak yang dalam dan luas juga dijadikan panduan oleh para kepala daerah. Terlebih kepala daerah dari barisan parpol pendukung pemerintah, seperti Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
Ganjar Pranowo tumbalkan rakyat kecil atas nama pembangunanisme
Dengan DNA politik ekstraktif dan ambisi nyapres 2024, Ganjar pasang badan menjalankan agenda serakah para oligarki atas nama Proyek Strategis Nasional. Proyek tambang batu andesit di desa Wadas Jateng menjadi contoh nyata pemihakan Ganjar terhadap kepentingan kekuasaan dan oligarki.
Guna mengamankan proyek triliun tersebut, Ganjar ikut menggerakkan birokrasi dan aparat keamanan membuldozer rakyat desa Wadas yang mempertahankan hak atas tanah mereka sendiri. Ia tega menumbalkan rakyat kecil yang notabene pendukungnya sendiri, demi melayani kerakusan oligarki.
Tragedi tersebut telah membongkar topeng licik Ganjar yang selama ini mencitrakan diri sebagai pemimpin yang merakyat. Faktanya, ia tak peduli dengan nasib rakyat. Hampir 10 tahun di bawah kepemimpinannya, Jawa Tengah tidak lepas dari predikat provinsi termiskin di Jawa, dengan rata-rata pendapatan penduduk hanya Rp38,67 juta pada 2021. Angka tersebut merupakan yang terendah se-Pulau Jawa, serta jauh di bawah rata-rata pendapatan per kapita nasional sebesar Rp62,24 juta per tahun (BPS 2022).
Seturut dengan itu, angka kemiskinan di Jawa Tengah mencapai 11,25 persen pada September 2021, nomor dua tertinggi di Pulau Jawa, setelah Yogyakarta dengan 11,91 persen, serta berada di atas presentase penduduk miskin nasional yang 9,71 persen (BPS, 2022). Dan sesuai data BPS, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah sebesar 72,16 pada 2021, hanya sedikit di atas IPM Jawa Timur (72,14), namun di bawah Jawa Barat (72,45), Banten (72,72), Yogyakarta (80,22), dan DKI Jakarta (81,11).
Ganjar telah gagal membangun Jawa Tengah, apalagi mau mengurus Indonesia, dengan segudang masalah yang sangat kompleks. Tidak ada yang bisa ditawarkan Ganjar kepada rakyat Indonesia, kecuali pencitraan kosong (gimik politik ), tak bermakna. Ia juga tidak memiliki gagasan besar tentang Indonesia masa depan. Minimal, tidak pernah terdengar visi alternatifnya untuk membangun Indonesia di luar sistem dan strategi yang tersedia dalam Peta Jalan (Roadmap) oligarki.
Alih alih melawan oligarki yang merampok hak-hak rakyat, justru Ganjar menjadi kaki tangan mereka sebagai imbal balik sokongan finansial para oligark selama ini kepada patron politik Ganjar yaitu Presiden Jokowi. Pemihakan Ganjar terhadap kerakusan oligarki sekaligus menjadi persekot atau setoran awal politik kepada mereka dalam rangka dukungan modal nyapres 2024.
Penggalan cerita di atas tidaklah berdiri sendiri, namun merupakan kelanjutan dari jejak politik (political track record) Ganjar sejak lama. Sebelum menjabat gubernur Jawa Tengah, nama Ganjar terseret kasus korupsi E-KTP yang merugikan negara tidak kurang dari Rp2,3 triliun. Kasus ini terjadi saat Ganjar menjadi Wakil Ketua Komisi II DPR RI.
Para terpidana kasus mega korupsi tersebut seperti Setya Novanto pernah menyebut Ganjar menerima uang 500.000 dolar AS dari proyek e-KTP. Hal ini dikonfirmasi Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin ketika bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk terdakwa Setya Novanto (19/2/2018) bahwa Ganjar menolak diberikan 100.000 dollar AS, tapi mau menerima 500.000 dollar AS. Anehnya, dugaan keterlibatan Ganjar menguap begitu saja. KPK mengaku belum menemukan bukti keterlibatan Ganjar dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP.
Dengan nir-prestasi dan rekam jejak politik tersebut, wajar bila Ganjar memoles citra dirinya di medsos menggunakan pendekatan emosional karena itulah kelebihannya untuk menarik simpati publik. Tidak ada hal substansial yang bisa dijual Ganjar dalam gelaran pilpres mendatang.
Bagaimana dengan Anies Baswedan?
Beda dengan Ganjar, Anies membangun komunikasi publik, yang sarat makna dan muatan kinerja. Sebab, keunggulan Anies adalah kinerja dan karya yang sudah dikenal publik, yang dibelakannya ada narasi, dan sebelum narasi ada gagasan. Bagi Anies, tidak ada kebijakan dan karya tanpa gagasan.
Gagasan, Narasi dan Karya ala Anies sangat kental dengan spirit pembangunan manusia yang dijadikan panglima dalam membangun Ibu Kota selama hampir 5 tahun ini. Dan, Anies berhasil menerjemahkanya ke dalam pilihan kebijakan dan intervensi program yang tepat, melibatkan seluruh lapisan masyarakat, salah satunya melalui gerakan kolaborasi.
Gerakan kolaborasi yang dikemas dalam platform Kolaborasi Sosial Berskala Besar (KSBB) mempertemukan berbagai pemilik sumber daya dengan kebutuhan warga. KSBB hadir di seluruh wilayah DKI Jakarta, dan mencakup berbagai sektor, yaitu Pangan, UMKM, Pendidikan, Permukiman, Persampahan, dan Ketenagakerjaan, dengan ratusan kolaborator dari berbagai unsur non-pemerintah, dan lebih dari 100,000 keluarga penerima manfaat.
Spirit pembangunan manusia (human development) Anies tidak berhenti di Ibu Kota, namun, merambah ke daerah-daerah lain, seperti kolaborasi dengan para petani di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung. Hal ini tidak saja saling menguntungkan antar daerah serta meningkatkan keberdayaan dan kesejahteraan petani yang umumnya rendah. Tetapi, jika dilaksanakan dalam skala yang lebih luas, skema kolaborasi tersebut membantu mengurangi ketergantungan pada impor pangan, yang pada gilirannya berkontribusi terhadap kemandirian dan kedaulatan pangan nasional.
Anies juga melindungi kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan, termasuk warga lanjut usia, perempuan dan anak-anak serta penyandang disabilitas melalui beragam program perlindungan sosial, sebagai bagian dari fondasi pembangunan manusia. Ditambah skema subsidi kebutuhan pokok dan akses gratis terhadap fasilitas layanan publik seperti TransJakarta.
Sementara itu, pembangunan infrastruktur fisik dijadikan faktor pendukung untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendorong pembangunan manusia. Melalui paket kebijakan yang berorientasi pada pembangunan manusia, Anies memfasilitasi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, pro-poor dan ramah lingkungan, dengan mengutamakan prinsip keadilan. Anies tidak anti-pemodal, tapi anti ketidakadilan. Ia tidak menolak orang yang berusaha untuk menjadi kaya. Yang ditentangnya adalah kegiatan bisnis yang merugikan kepentingan rakyat banyak dan mengabaikan keadilan sosial.
Tiga belas (13) dari 17 pulau proyek reklamasi di Teluk Jakarta dihentikannya karena terbukti melanggar banyak aturan, mematikan sumber kehidupan nelayan yang notabene rakyat kecil dan mengancam keselamatan lingkungan. Hal ini menjadi bukti keberanian politik Anies melawan episenter oligarki yang mengorbankan kepentingan dan masa depan rakyat banyak. Sebuah perkecualian dalam realitas politik Indonesia yang dikendalikan para taipan oligarkis.
Hasil persenyawaan gagasan, narasi dan karya Anies terekam dalam data BPS (2021) terkait indeks demokrasi yang sangat tinggi, mencapai skor 89,21, jauh melampaui indeks demokrasi nasional sebesar 73,66. Indeks pembangunan manusia (sebagai gabungan indikator ekonomi, pendidikan dan kesehatan) juga tumbuh positif, mencapai 81,11 pada 2021, yang menjadikan DKI Jakarta sebagai provinsi dengan status capaian pembangunan manusia yang sangat tinggi (IPM ≥ 80). Pada saat yang sama, tingkat kemiskinan di Jakarta terus berkurang sebelum COVID-19. Proporsi penduduk miskin di Jakarta pada September 2019 hanya 3.4 persen, turun dari 3.8 persen pada 2017.
Dus, perlu digarisbawahi, maha karya Anies Baswedan tidak terletak pada kemegahan bangunan fisik, tetapi lebih pada kualitas pembangunan manusia Ibu kota. Di balik kemegahan infrastruktur seperti JIS, transportasi modern dan murah, taman-taman kota, JPO, halte, trotoar yang nyaman dan ramah penyandang disabilitas serta lansia, terselip aspek kesetaraan dan persatuan di antara semua warga Ibukota.
Hal tersebut sejalan dengan pikiran Anies bahwa, “persatuan hanya bisa dibangun dan dipertahankan bila ada keadilan. Tidak mungkin bisa membangun persatuan dalam ketimpangan. Keadilan jadi kata kunci yang harus dihadirkan.”
[***]