KedaiPena.com – Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menyatakan akan melanjutkan proyek tanggul laut Jakarta untuk mengantisipasi kejadian Rob. Hal ini disambut baik walaupun prosesnya dinyatakan membutuhkan kajian dan kolaborasi beragam disiplin Ilmu. Tanpa itu semua, proyek tersebut hanya akan jadi proyek ‘business as usual‘.
Peneliti Oseanografi Terapan Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Widodo S Pranowo menyampaikan penelitian tanggul laut Jakarta atau Giant Sea Wall dimulai pada tahun 2014, dengan rencana desain mencakup area reklamasi di Teluk Jakarta.
“Kalau desain sekarang, saya belum tahu. Apakah masih merujuk pada RTRW yang dulu, yang tahun 2012 atau sudah ada revisinya, saya tidak tahu. Tapi secara logic scientific, pertanyaannya adalah yang mau ditanggul itu pantainya atau yang ditanggul lautnya?” kata Widodo, Kamis (3/11/2022).
Jika yang ditanggul pantainya, ia menyatakan dalam desain perlu diperhatikan terkait kekuatan tanggul tersebut.
“Bagusnya itu agak slope atau miring, bukan tegak lurus vertikal. Miring menyerupai kemiringan pantai pada sisi yang menghadap ke pantai. Serta harus cukup tinggi. Sementara di bagian atas tanggul, dapat dipertimbangkan sebagai open space untuk jalan atau jogging track atau aktivitas masyarakat yang lainnya,” ujarnya.
Kemiringan tanggul menyerupai garis pantai, lanjutnya, akan mengurangi energi hantaman yang akan diterima oleh tanggul dibandingkan jika tanggul berbentuk vertikal tegak lurus. Sehingga akan memperpanjang masa guna tanggul.
“Contohnya itu seperti di Bremerhaven, sebuah kota pantai di Jerman yang menghadap ke Laut Utara (North Sea). Ada bulan-bulan tertentu dimana terjadi rob (bahasa jerman: Uberflutung) yang tinggi sekali. Untuk mengantisipasi rob ini, maka dibangun tanggul pantai dan pintu air yang disertai pompa. Infrastruktur ini juga dibantu dengan sistem peringatan dini, yang akan menginformasikan kejadian rob, paling tidak satu hari sebelumnya,” ujarnya lagi.
Widodo menambahkan perlunya dipersiapkan open space atau ruang terbuka antara bibir pantai dengan pemukiman terdekat.
“Kalau di Alfred Wegener Institute, open space ini dalam bentuk lapangan parkir. Jadi kalau diumumkan bakal ada rob esok hari, maka tidak ada yang parkir di sana,” katanya melanjutkan.
Selain tanggul pantai, ia mengingatkan pentingnya untuk membangun instalasi pemantauan pada akses air masuk (dari arah hulu) ke Teluk Jakarta yang berasal dari 13 sungai.
“Yang perlu diingat adalah air dari hulu juga. Jadi perlu adanya kerjasama dengan daerah yang memiliki alur sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta. Apakah dipertimbangkan untuk memiliki area tampungan atau danau, sehingga debit air dari yang masuk ke Teluk Jakarta bisa dikurangi, dan juga dapat terpantau,” ungkapnya.
Terkait teknis panjang tanggul, lokasi tanggul, komposisi bahan untuk tanggul, luasan area terbuka hingga sistem peringatan dini, Widodo menyatakan perlu keterlibatan berbagai ahli dari disiplin ilmu berbeda.
“Ini harus ada kajian lagi. Karena banyak aspek yang harus diukur. Misalnya untuk mengukur land subsidence atau penurunan muka tanah yang membutuhkan ahli geomatika, geodesi hingga geologi untuk mengukur struktur tanah. Dan juga perlu diukur muka air laut, apakah elevasinya hanya dipengaruhi oleh pasang surut saja, atau pada momen tertentu misal siklon di Laut Natuna Utara apakah mempengaruhi tinggi gelombang di Teluk Jakarta. Dan ini proyeksinya harus 30 hingga 100 tahun ke depan. Belum untuk mempersiapkan infrastruktur peringatan dini-nya. Jadi memang butuh kajian panjang dan berbagai pakar disiplin ilmu,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa