PADA Selasa, 24 Desember 2018 lalu, Parlemen Thailand menyetujui untuk pengaturan penggunaan ganja untuk kepentingan kesehatan. Kesepakatan untuk melakukan amandemen terhadap UU Narkotika Thailand tahun 1979 diperoleh pada saat extra parliamentary session sebelum memasuki liburan tahun baru. Setelah pertemuan tersebut, Ketua Drafting Committee Parlemen Thailand menyatakan bahwa hal ini merupakan kado tahun baru untuk masyarakat Thailand.
Hal ini merupakan salah satu langkah maju karena Thailand sebagai salah satu negara di regional Asia Tenggara yang terkenal dengan kebijakan narkotika yang cukup keras. Kepemilikan ganja dalam jumlah tertentu di Singapura, Malaysia dan Indonesia bahkan dapat diganjar dengan pidana mati.
Sebelumnya, pada September 2018 lalu, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad setelah adanya kasus penuntutan pidana mati terhadap seorang penyedia jasa pengobatan dengan cannabis oil, menyatakan akan membuka ruang kepada pemerintah Malaysia untuk mendiskusikan kemungkinan pengaturan medical cannabis atau ganja untuk kepentingan kesehatan.
Fokus pertama yang dilakukan pemerintah Malaysia saat itu adalah untuk menghapuskan pidana mati bagi kepemilikan, pemprosesan dan pendistribusian ganja. Secara lebih progresif, diskusi tersebut menghasilkan keputusan bahwa Pemerintah Malaysia menghapus hukuman mati secara hukum terhadap 33 jenis tindak pidana yang tersebar dalam 8 Undang-Undang, yakni KUHP (untuk Tindak Pidana Pembunuhan), UU tentang Obat-Obatan Berbahaya, UU tentang Senjata Api tahun 1960 dan tahun 1971, UU tentang Penculikan, UU tentang Angkatan Bersenjata, UU tentang Industri Pelayanan Air, serta UU tentang Perdagangan Strategis.
Lewat penghapusan pidana mati ini, Malaysia membuka ruang untuk meninjau ulang kebijakan narkotikanya, termasuk untuk mengubah pandangan bahwa ganja merupakan bagian dari obat yang seharusnya diregulasi, bukan dilarang sepenuhnya.
Selain Thailand dan Malaysia, Filipina, saat ini juga sedang mempersiapkan pengaturan untuk melegalkan penggunaan ganja untuk kesehatan. Dalam perkembangan terakhirnya, draft Compassionate Medical Cannabis Act (House Bill No, 180) telah diterima parlemen sejak tahun 2016 dan sekarang sedang dalam tahap pembahasan untuk dapat disetujui oleh Kongres. Dukungan politik pun juga sangat kuat termasuk oleh Presiden Duterte yang mendukung penggunaan ganja untuk pengobatan.
Secara global, pengaturan ganja untuk kepentingan kesehatan sendiri sudah massif dilakukan di berbagai belahan dunia, sedikitnya terdapat 30 negara yang sudah melegalkan ganja untuk kepentingan kesehatan, terdiri dari Argentina, Australia, Canada, Chile, Colombia, Croatia, Cyprus, Czech Republic, Denmark, Finlandia, Jerman, Yunani, Israel, Italia, Jamaika, Lestho, Luxembourg, Macedonia, Malta, Meksiko, Belanda, Norwegia, Peru, Polandia, Romania, San Marino, Swiss, Turki, Uruguay, Zimbabwe.
Sayangnya, dalam konteks hukum Indonesia, Pasal 8 ayat (1) UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika melarang pemanfaatan narkotika golongan I untuk kepentingan kesehatan. (ganja sesuai dengan halaman 4 Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan No 20 tahun 2018 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika merupakan narkotika golongan I).
Pasal 8 ayat (2) UU No 35 tahun 2009 saat ini sebenarnya memberi ruang untuk pemerintah mempertimbangkan adanya penelitian tentang ganja untuk kepentingan kesehatan. Namun terdapat batasan terhadap proses penelitian tersebut yang membuat peneltian tentang pemanfaatan ganja untuk ilmu pengetahuan sangat bergantung dengan peran pemerintah.
ICJR mengingatkan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki momentum untuk melakukan perubahan terhadap larangan ganja untuk kepentingan kesehatan pada 2017 lalu. Fidelis seorang pegawai negeri dari Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat pada 2 Agustus 2017 divonis 8 bulan penjara karena memberikan istrinya pengobatan dengan ekstrak ganja atas penyakit langka yang dideritanya.
Fidelis berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan melanggar ketentuan Pasal 116 UU No 35 tahun 2009 tentang Tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain. Lewat kasus ini, Indonesia jelas membutuhkan pengaturan ganja untuk kepentingan kesehatan. Kasus ini terjadi karena Pemerintah gagal memenuhi kepetingan masyarakat atas akses pemanfaatan narkotika untuk bidang kesehatan.
Rencana melakukan revisi UU Narkotika telah tertuang dalam Program Legislasi Nasional 2019. Lewat kesempatan ini, Pemerintah dan DPR harus memastikan reformasi kebijakan narkotika di Indonesia, termasuk melakukan pembahasan pengaturan mengenai pemanfaatan ganja untuk kepetingan kesehatan.
Proses revisi UU Narkotika juga harus memastikan bahwa akses penelitian tentang pemanfaatan ganja dapat dilakukan secara terbuka dan tidak hanya bergantung pada program pemerintah.
Jika negara tetangga seperti Thailand, Filipina, bahkan Malaysia dengan karakteristik negara yang hampir sama saja bisa memastikan pemerintahnya menghargai ilmu pengetahuan lewat diaturnya pemanfaatan ganja untuk kesehatan, maka Indonesia sebagai negara demokratis yang mendasarkan kebijakan publiknya pada bukti, juga perlu untuk mengatur pemanfaatan narkotika untuk kepentingan kesehatan.
Oleh Anggara Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)