Artikel ini ditulis oleh Adityo Fajar, Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi Partai Buruh.
Paru-paru Jakarta semakin kotor, berdebu, dan cemar. Kemarin, 15/8/2023, Liputan 6 mengangkat judul pemberitaan yang mencengangkan: ‘Polusi Udara di Jakarta Terburuk Sedunia Pagi Ini.’ Klaim tersebut diambil berdasarkan parameter kualitas udara IQAir. Dari 109 negara, indeks kualitas udara Jakarta mencapai angka 183 US Air Quality Index (AQI US).
Data itu diukur pada pukul 08.00 WIB pagi kemarin. Tingkat pencemaran udara Jakarta terpaut 10 poin lebih tinggi dari Dubai, Uni Emirat Arab, yang menduduki peringkat kedua kota dengan kualitas udara terburuk di bilangan 173 AQI US. Sementara, Doha, Qatar, berada di peringkat ketiga kota terpolutan di dunia dengan angka 161 AQI US.
Berdasarkan pantauan IQAir per 15 Agustus 2023, rata-rata polutan halus yang beredar di udara Jakarta sebanyak 45,3 mikrogram (µg) per meter kubik (m3). Angka ini sembilan kali lebih besar dari ambang batas yang ditentukan WHO (PM 2,5). Pesan gamblang dari angka-angka tersebut adalah, kualitas udara ibukota sudah tidak higienis, sama sekali tak sehat.
Sungguh ibukota Republik yang malang. Yang jelang usianya ke-78, mendapati pernapasannya mengalami potensi infeksi besar. Sejak awal dekade 1990-an, sebenarnya buruknya udara di Jakarta sudah terdeteksi. Saat itu, Program Lingkungan PBB (UNEP) melakukan uji petik kualitas udara di 20 kota megapolitan dari seluruh dunia, termasuk Jakarta.
Berdasarkan hasil uji petik tersebut, nilai Suspended Particulated Matter (SPM) di Jakarta menunjukkan masalah serius berdasarkan ukuran Badan Kesehatan Dunia (WHO). SPM merupakan partikel halus berasal dari pembakaran bahan bakar fosil yang melayang di udara dalam jangka waktu yang relatif lama.
Partikel ini yang menelusup masuk ke hidung warga kota, hinggap ke paru-paru atau mendarat di bola mata. Ia akan mendatangkan resiko gangguan sistem saraf pusat, hipertensi, iritasi mata-hidung-tenggorokan, penyakit paru, hingga gangguan sistem reproduksi. Ini adalah horor kesehatan massal yang menggelayuti kota paling prestisius di Indonesia.
Masalah polusi udara di Jakarta tak terelakkan menyibak persoalan yang lebih genting terkait emisi karbon. Diketahui emisi karbon menjadi salah satu kontributor utama perubahan iklim global, selain emisi gas rumah kaca. Tetapi pertanyaannya, siapakah gerangan perusak sesungguhnya planet tempat kita tinggal ini?
Laporan Oxfam per November 2022, mencoba memberikan jawaban. Bertajuk Carbon Billionaires: The investment emissions of the world’s richest people, laporan itu menuding kalangan miliarder lah biang keladinya. Emisi karbon dari 125 miliarder terkaya di dunia disebut sejuta kali lebih tinggi daripada 90 persen populasi di planet ini. Investasi dari hanya 125 miliarder memancarkan 393 juta ton CO2e setiap tahun.
Orang-orang super tajir ini mengeluarkan karbon 70% dari emisi yang dihasilkan dari investasi di berbagai jenis industri. Mereka adalah pemilik saham gabungan senilai $ 2,4 triliun di 183 perusahaan. Angka pencemaran yang mereka hasilkan kemungkinan masih lebih tinggi, karena terdapat miliarder dan perusahaan yang tidak mengungkapkan emisi mereka secara terbuka, sehingga tidak dapat dimasukkan dalam penelitian.
Laporan itu juga menyebutkan 10 persen orang terkaya di dunia menyumbang lebih dari setengah (52%) emisi yang ditambahkan ke atmosfer antara tahun 1990-2015. Di sini lain, keuntungan yang taipan-taipan ini kantongi makin berlipat ganda seiring meletusnya Perang Ukraina-Russia. Selama perang, lewat industri energi fosilnya kemakmuran mereka bertambah gendut.
Sementara kita mendapatkan kerusakan pernapasan, mereka meraup laba gila-gilaan. Dari 2021-2022 ExxonMobil mendulang profit dari $23 miliar menjadi $59,1 miliar; Shell meningkat dari $19,3 miliar menjadi $39,3 miliar; Chevron naik dari $15,6 miliar menjadi $36,5 miliar; TotalEnergies terkerek dari $18,1 miliar menjadi $36,2 miliar; dan BP melompat dari $12,8 miliar menjadi $27,27 miliar.
Belakangan tahun, berbagai narasi diedarkan di ruang publik. Bahwa, setiap individu mengemban tanggungjawab atas krisis iklim yang tengah mengancam kelangsungan hidup populasi manusia. Kita diminta mengurangi penggunaan plastik, mempopulerkan mobilitas memakai sepeda, berjalan kaki lebih sering, dan meninggalkan kendaraan pribadi. Ada 1001 ajakan untuk itu.
Tetapi semua anjuran individual tersebut terasa hampa dan menipu, bila tanpa mengarahkan telunjuk ke aktor utama pelaku kejahatannya. Orang-orang terkaya ini lah yang sebenarnya yang memperburuk krisis iklim, sedangkan mayoritas rakyat disemprot polutan buruk yang merusak kesehatan. Seperti kita di Jakarta hari ini, yang udaranya pekat dipenuhi noda.
Pelestarian lingkungan mustahil dilakukan tanpa diiringi perjuangan kelas yang gigih demi memberangus keserakahan kaum kapitalis. Yang kita butuhkan bukan cuma menanam ribuan pohon baru sebagai paru-paru kota. Melainkan, melikuidasi kekuasan kapitalis di ruang ekonomi dan politik. Persis seperti yang Chico Mendes bilang, “Pelestarian lingkungan tanpa perjuangan kelas adalah (sekedar) berkebun!”
[***]