Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Bab VIII , Hak Keuangan, Pasal 23, ayat (1), Undang-Undang Dasar menyatakan:
(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Atas dasar perintah konstitusi ini, maka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tahun anggaran 2022 ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 2021 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022.
Sebagai konsekuensi, perubahan pada APBN juga harus ditetapkan dengan undang-undang, biasanya dinamakan undang-undang APBN Perubahan atau UU APBN-P.
Oleh karena itu, Pertama, Peraturan Presiden No 98 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022, pada dasarnya tidak bisa dan tidak boleh mengubah UU No 6 Tahun 2022 tentang APBN 2022. Artinya, Peraturan Presiden No 98 Tahun 2022 tidak sah dijadikan dasar untuk APBN Perubahan 2022.
Kedua, defisit APBN 2022 direncanakan Rp868 triliun, dengan pembiayaan defisit anggaran direncanakan juga dalam jumlah yang sama, yaitu Rp868 triliun.
Sedangkan realisasi defisit APBN 2022 hanya Rp464,3 triliun, jauh di bawah pagu anggaran defisit 2022 sebesar Rp868 triliun tersebut, atau lebih rendah Rp403,7 triliun.
Tetapi, di lain pihak, pemerintah sengaja menaikkan harga BBM pertalite dari Rp7,650 menjadi Rp10.000 per liter, dan harga solar dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter pada 3 September 2022, yang membuat defisit anggaran menjadi lebih rendah.
Masalahnya, meskipun pagu defisit anggaran masih memungkinkan harga BBM untuk tidak naik, tetapi tetap dinaikkan, sehingga kebijakan menaikkan harga BBM ini mengakibatkan jumlah rakyat miskin pada September 2022 bertambah 200.000 orang dibandingkan Maret 2022.
Artinya, APBN tidak dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai perintah konstitusi, tetapi malah dilaksanakan untuk memiskinkan rakyat.
Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa realisasi pembiayaan defisit APBN 2022 mencapai Rp583,5 triliun, atau Rp119,2 triliun lebih besar dari realisasi defisit APBN 2022.
Tetapi kelebihan pembiayaan (atau utang) untuk menambal defisit anggaran ini tidak digunakan untuk sebesar-besarnya Kemakmuran rakyat Indonesia. Kelebihan menarik utang ini dibiarkan mubazir, ditengah kenaikan jumlah penduduk miskin. Padahal, biaya bunga tetap harus dibayar.
Bukankah praktek kebijakan pemerintah ini bertentangan dengan konstitusi untuk melaksanakan APBN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat?
Rakyat salah apa, kok tega-teganya sampai memiskinkan rakyat, padahal pemerintah mempunyai kapasitas Rp119,2 triliun (kelebihan pembiayaan anggaran), bahkan Rp403,7 triliun (selisih pagu dengan realisasi defisit), untuk mencegah jumlah rakyat miskin bertambah?
Sampai kapan negara ini masih bisa memberi toleransi kepada Pemerintah untuk melanggar konstitusi yang mengakibatkan memiskinkan rakyat?
[***]