Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Pilpres 2024 telah berlalu. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak ada kesalahan dalam kemenangan Prabowo-Gibran. Mereka terpilih secara sah sebagai presiden dan wakil presiden RI 2024-2029. KPU (Komisi Pemilihan Umum) pun mentapkan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2024-2029. Rotasi kepemimpian nasional berjalan lancar.
Berikutnya, apa saja pekerjaan rumah (PR) kebangsaan kita yang masih tersisa?
Pilpres 2024 mencuatkan beragam isu problem kebangsaan. Mulai isu nepotisme, pemberantasan korupsi, strategi pembangunan terencana berkelanjutan, maupun geopolitik. Jika diakumulasikan dengan isu-isu besar sebelumnya, bisa kita review, PR besar kebangsaan kita itu meliputi:
Pertama, isu strategi pembangunan terencana berkelanjutan. Tercermin dari mencuatnya narasi “keberlangsungan” versus “perubahan” selama pilpres 2024. Pembangunan nasional kita sering mengalami keterputusan proses. Tidak jarang terpaksa memulainya kembali dari awal.
Problem ini harus ada skema penyelesaian permanen. Tidak boleh dibiarkan menjadi keresahan laten tanpa solusi.
Pembangunan terencana berkelanjutan memerlukan payung hukum. Agar setiap ganti rezim, tidak harus merombak total rencana-rencana strategis pembangunan nasional. Sayangnya payung hukum ini telah dihapus melalui UUD 1945. Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) didekonstruksi oleh euphoria reformasi. Akibatnya tidak tersedia payung hukum yang kuat untuk melindungi rencana-rencana strategis nasional dalam pembangunan jangka panjang.
Tantangan terbesar kita adalah mengembalikan GBHN sekaligus mengembalikan fungsi MPR sebagai pusat kekuasaan (locus of power). Fungsi MPR melantik /memberhentikan (setelah ada putusan MK) presiden dan wakil presiden serta merumuskan dan menetapkan GBHN.
Perumusan GBHN oleh MPR merupakan implementasi pasal 4 Pancasila. Ialah pemerintahan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Bahwa haluan negara dirumuskan dan ditetapkan oleh rakyat melalui perwakilannya di MPR. Bukan ditentukan berdasar visi dan misi rezim berkuasa belaka. Presiden terpilih pada dasarnya merupkan pelaksana dari GBHN. Pelaksana amanat rakyat.
PR kebangsaan itu adalah pengembalian fungsi MPR dan eksistensi GBHN melalui amandemen terbatas. Tanpa harus mengubah capaian positif reformasi dengan kembali kepada UUD 1945 secara menyeluruh. Konsekuensi kembali kepada UUD 1945 secara menyeluruh adalah penghapusan MK (Mahkamah Konstitusi) dan KPK yang eksistensinya merupakan amanat UUD 1945. Penghapusan kedua institusi ini akan berhadapan dengan penolakan skala luas dari segenap rakyat.
Kedua, pemberantasan korupsi hingga akar-akarnya. Gagasan mantan Menko Polhukam dan Cawapres Mahfud MD akan perlunya UU perampasan asset koruptor perlu segera diwujudkan. Sebelumnya, ide itu memperoeh penolakan dari partai besar. Kini upaya itu saatnya direalisasikan.
Selain UU perampasan aset koruptor, diperlukan pula pembatasan masa jabatan pejabat politik. Berdasar dictum Lord Acton (1834-1902) bahwa: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.
Masa jabatan pejabat politik maksimal dua periode. Masing-masing periode selama lima tahun. Sebagai jurisprudensi adalah masa jabatan presiden sebagaimana ketentuan UUD 1945.
Ketua lembaga tinggi negara, gubernur, bupati/walikota, kepada desa, anggota legislatif, ketua partai, perlu dibatasi. Maksimal dua periode. Masing-masing periode berdurasi 5 tahun.
Ketiga, isu nepotisme. Tercermin penentangan kuat selama pilpres terhadap pencalonan Gibran Rakabuming. Seorang anak presiden aktif mencalonkan/dicalonkan sebagai wapres. Maka diperlukan larangan kontestasi politik bagi keluarga pejabat politik setiap jenjang (presiden, gubernur, walikota/bupati, kepala desa) ketika anggota keluarganya masih aktif menjabat.
Ketentuan isu Nepotisme dalam TAP MPR bersifat umum dan tidak menyebut secara spesifik sebagaimana kasus yang dialami Gibran Rakabuming. Aturan ketat diperlukan bukan saja untuk menangkal nepotisme. Melainkan juga untuk memperlancar sirkulasi kepemimpinan bangsa pada setiap jenjang.
GBHN dihidupkan kembali eksistensinya melalui amandemen terbatas. Perampasan aset koruptor, pembatasan periodisasi jabatan pejabat publik dan anti nepotisme, perlu dibuat UU. Agar terdapat pengaturan definitif dan tidak multi tafsir.
Itulah PR kebangsaan mendesak untuk segera diwujudkan. Ketika partai-partai politik tidak memiliki keberanian menjalankan fungsi oposisional, kalangan intelektual harusnya mengambil alih peran itu. Termasuk para guru besar perguruan tinggi. Untuk mendesak semua pihak menuntaskan PR-PR kebangsaan.
ARS ([email protected]), Jaksel, 29-04-2024
[***]