KedaiPena.Com – Sebagai negara yang memiliki sumber daya energi melimpah, seharusnya berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Tapi, kenyataannya kedaulatan Indonesia atas energi semakin lama semakin berkurang. Pengembangan pengelolaan energi, akhirnya tidak lagi merujuk pada pesan yang termaktub dalam UUD 1945. Malah semakin berorientasi pada kepentingan pengusaha non pemerintah.
Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Arie Gumilar menyatakan pendapat FSPPB tetap konsisten bahwa semua pengelolaan sumber daya alam, sepenuhnya harus ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, secara merata.
Demikian dikatakan Arie saat dihubungi redaksi, ditulis Senin (15/5/2023).
Ia menyatakan sejak tahun 2001, kedaulatan negara atas pengelolaan sektor hulu Migas, sangat kecil sekali. Sehingga, banyak pihak, salah satunya FSPPB meminta agar pemerintah meningkatkan kontribusi seluruh usaha Produksi Hulu Migas dikelola anak bangsa.
Merebut kembali blok-blok migas yang selama puluhan tahun dikuasai oleh asing bukan hal yang mudah dan gratis. Sebut saja Blok Madura, Blok Mahakam, Blok Rokan dan lain-lain.
“Saat dilakukannya IPO, maka hal itu kembali membuka peluang bagi berkurangnya penguasaan negara atas usaha produksi hulu migas. Dan ini menjadi paradoks dengan perjuangan selama ini,” ucapnya.
Arie memaparkan jika memang yang dipermasalahkan adalah modal, seharusnya pemerintah bisa menambah modal dengan cara melakukan pinjaman bunga rendah, tanpa harus melakukan pelepasan aset. Apalagi PHE pun mencatatkan keuntungan.
“Permasalahan modal ini sebenarnya, jika melihat publikasi keuntungan Pertamina, harusnya tidak menjadi masalah. Ini terlihat dari jumlah penerimaan negara dari Pertamina dan dividen. Jadi sebenarnya tidak perlu mencari dana/modal dengan cara IPO,” ucapnya lagi.
Ia menyatakan tak bisa mengerti alasan BUMN untuk melakukan IPO, yang katanya aspirasi dari stakeholder.
“Saya tidak mengerti, apakah ini terkait dengan kepentingan politik atau kepentingan bisnis atau kepentingan lainnya. Yang jelas IPO ini perintah Kementerian BUMN. Saya tidak tahu alasan BUMN kok ngebet banget melakukan IPO anak anak usaha BUMN,” kata Arie lebih lanjut.
Ia juga menyatakan terlihat ada kecenderungan pemerintah untuk melepas kepemilikan negara di BUMN kepada pihak non pemerintah.
“Dengan penerapan sistem holding sub holding, maka BUMN dipecah menjadi beberapa anak usaha. Hal ini tidak melanggar undang-undang, karena anak perusahaan bukan lah BUMN. Kayak akal-akalan saja,” ujarnya.
Padahal dengan adanya pelepasan kepemilikan ini, lanjutnya, maka akan berkuranglah peran BUMN sebagai perusahaan yang dimiliki pemerintah untuk memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat.
“Esensi UUD 1945 pasal 33 khususnya Ayat 2 dan Ayat 3, akhirnya dikesampingkan. Yang ada akhirnya, sistem kapitalis, liberal dan berpatokan pada harga pasar. Akhirnya, masyarakat harus berpatokan pada harga pasar,” ujarnya lagi.
Pemerintah tak lagi mampu menjadikan BUMN sebagai alat untuk menyejahterakan rakyat, Karena pada akhirnya pemerintah harus mengikuti keinginan para investor atau pemegang saham.
“Pemegang saham kan ingin untung. Padahal sejatinya, BUMN selain sebagai wahana ekonomi negara, yang memberikan deviden bagi negara tapi juga sebagai wahana perjuangan dalam pergerakan ekonomi masyarakat. Tidak apa BUMN tidak untung besar, yange penting ekonomi masyarakat bergerak,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa