Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Kenapa orang yang rambutnya putih dan jidatnya berkerut sekarang jadi indikator mikirin nasib rakyat?
Seperti disebut Jokowi beberapa hari lalu, yang kemudian pernyataan itu dibaca publik sebagai kode dukungan buat Ganjar untuk jadi capres di 2024?
Sebabnya karena memang hanya itu yang bisa ditonjolkan. Padahal mestinya yang dikedepankan prestasi, integritas, dan keberpihakan Ganjar kepada rakyat Jawa Tengah.
Di era perjuangan kemerdekaan dulu indikator kepemimpinan ditentukan oleh satunya pikiran, kata, dan perbuatan, untuk membuktikan keberpihakan kepada rakyat.
Di era itu para pemimpin Indonesia meski hidup pas-pasan, tetapi umumnya berpenampilan charming dan perlente.
Umumnya senang mematut diri dengan selera tinggi, agar bisa sejajar dengan orang Belanda yang menjajah.
Sehingga tiada lagi minder waardigheid complex, istilah psikolog kolonial yang menghina orang Indonesia bermental rendah.
Penampilan Sukarno dulu disanjung bagaikan perpaduan Franklin Delano Roosevelt dan Clark Gable.
Hatta dan Sutan Sjahrir oleh kaum kiri disindir sebagai Hollandofil (ke-Belanda-Belanda-an). Haji Agus Salim dikatakan The Grand Old Man. Tokoh berhias uban dan jenggot memutih ini kampiun diplomasi, poliglot otodidak yang menguasai banyak bahasa asing.
Namun citra fisik yang umumnya pepesan kosong kini lebih ditonjolkan, seakan-akan satu-satunya indikator calon pemimpin.
Citra sesat orang yang rambutnya putih dan jidatnya berkerut merupakan indikator mikirin nasib rakyat, kini ditambah pula dengan adanya pejabat bermental preman yang menantang bertempur dengan rakyat, dan dengan kelompok-kelompok kritis terhadap pemerintah.
Di masa lalu tabiat ini disebut land verkoper (penjual negara), yang demi keju dan roti rela menumpas rakyat sendiri.
Bung Karno melukiskan sebagai alap-alap politik. Ibarat ’paper tissues which one uses once and then throws away’. Sekali pakai kemudian dibuang seperti sampah.
Kenapa hal itu bisa terjadi ?
“Pejabat pemerintah bicara seperti preman, karena nggak ngerti demokrasi,” tandas tokoh nasional Dr Rizal Ramli di akun twitter-nya belum lama ini.
Seperti diketahui, Ketua Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdan, saat berbicara dengan Jokowi, dinilai publik melontarkan pernyataan seperti preman.
Di acara relawan Jokowi itu Benny mengatakan siap bertempur untuk melawan pihak yang berseberangan dengan pemerintah.
Bagi Rizal Ramli, pernyataan itu seharusnya tidak keluar dari seorang pejabat. Keinginan untuk bertempur dengan rakyat sangat berlawanan dan tanda pejabat tersebut tidak mengerti demokrasi.
Sorotan Rizal Ramli juga tertuju pada respon Jokowi yang memberi isyarat kepada Benny untuk lebih kencang bergerak.
Menurutnya, arahan Jokowi itu bisa ditafsirkan bagian dari strategi “nabok nyilih tangan” atau memukul dengan meminjam tangan orang lain. Dalam strategi ini, Benny akan digunakan sebagai tangan untuk memukul lawan Jokowi, sementara tangan Jokowi tetap bersih.
Apa itu nabok nyilih tangan, yang persamaan peribahasanya tumindak ala kanthi kongkonan wong liya, atau melakukan hal-hal buruk dengan menggunakan orang lain ?
Ternyata nabok nyilih tangan sama
dengan nendang nyilih sikil (menendang dengan meminjam kaki orang lain), ngomong nyilih lambe (berbicara dengan meminjam mulut orang lain), mikir nyilih utek (berpikir dengan meminjam otak orang lain), dan mbangun nyilih duwit (membangun dengan cara meminjam duit).
Esensinya sama belaka. Mencelakakan orang dengan cara menyuruh orang lain, untuk menjaga citra diri supaya tetap wangi. Meski nyatanya menebar bau yang tak sedap.
[***]